“Sudah tahu kepanjangan AM?” tanya Sulis soal dua huruf di belakang namaku itu. “Agnes Mo,” jawabku bercanda. “Kalau aku sudah tahu kepanjangan dari AS yang ada di belakang namaku, juga kepanjangan SG di belakang nama Atra.” “Apa?” tanyaku penasaran. Dengan cekatan Sulis menjawab, “Jadi sebenarnya Umbu sudah menjodohkan kami, atau minimal merestui hubungan kami kala itu. AS itu Atra Senuddin. Sedangkan SG adalah Sulis Gingsul.”
Begitu percakapanku dengan Sulis Gingsul AS beberapa bulan lalu, tentang dua huruf (singkatan) yang ada di belakang nama kami yang diberikan oleh Pak Umbu.
Pak Umbu memang senang memberikan nama kepada penulis, setidaknya nama tambahan, terutama dua huruf berupa singkatan atau modifikasi nama. Umumnya nama yang dimiliki itu agar menjadi tiga kata. Misalnya Nuryana Asmaudi SA, Mira MM Astra, Wayan Jengki Sunarta, Maulana Ramza Rizki, Kardanis Muda Wijaya, Aryadimas Ngurah Hendratno, Raudal Tanjung Banua, Riki Dhamparan Putra, dll.
Demikian pula nama Jatijagat Kampung Puisi. Sebelumnya orang-orang eks Sanggar Minum Kopi memberi nama Kampung Puisi Bali, tempat pusat kegiatan kami itu, tapi ketika mendapat protes dari Om Frans Nadjira karena terlalu menyempitkan diri dan bernuansa primordial, maka nama “Bali” dihilangkan dan penggantian nama dilakukan oleh Pak Umbu dengan memberikan kata “Jatijagat” di depan nama “Kampung Puisi’. Jati(dirinya) jagat; jati (pohon kokoh) yang berjejer di halaman Kampung Puisi. Begitu kurang lebih.
![]() |
Bersama Umbu (2019) |
Sedangkan embel-embel “AM” di belakang namaku diberikan oleh Pak Umbu ketika puisiku pertama kali ditayangkan di Bali Post olehnya, bersamaan dengan Sulis, Atra, dan Rizki. Tentu setelah aku mengirim berkilo-kilo puisi seperti yang selalu dia tantang (termasuk kepada banyak penyair; kirimlah berkilo-kilo puisi!). Puisi yang dimuat itu berjudul "Kelahiran". Maksud dari ditayangkannya puisi tersebut kata Pak Umbu dua malam sebelumnya di rumah Mira, karena berbarengan dengan peringatan hari jadi Kota Denpasar. Puisiku tak ada kaitannya dengan Kota Denpasar, tapi momentumnya mungkin bagi dia cocok.
Pak Umbu sendiri tak pernah menjelaskan kepanjangan dari AM. Dia membiarkan menjadi rahasia dan teki-teki, sebagaimana kesukaannya pada rahasia dan teka-teki; teka-teki huruf maupun teka-teki angka; rahasia kehidupannya dan teka-teki pernyataannya; rahasia nasib dan teka-teki semesta.
Soal teka-teki huruf, dalam beberapa kesempatan dia melontarkan dua huruf singkatan, yaitu “DK” kepada kami dan kami harus memecahkan singkatan ini. Menurutnya “DK” adalah berkaitan dengan Bali, dan kami harus mencaritahu terkait itu, terutama dari dimensi spiritualnya. "DK" adalah kunci, simpul rohani manusia Bali dengan waktu dan tempat.
Sedangkan soal angka, Pak Umbu sangat fanatik pada angka. Selain hapal angka-angka kelahiran banyak penyair atau seniman pada umumnya (belakangan aku baru tahu, Pak Umbu selalu berpuasa di tanggal kelahiran murid-murid kesayangannya), dia juga berpegang teguh pada kalender, khususnya kalender Bali dan penuh perhitungan atas hari-hari tertentu, upacara-upacara tertentu. Bahkan tak jarang dia memuat puisi di halaman yang diasuhnya berdasarkan kalender, mencari kedekatan spirit-filosofisnya antara waktu tertentu dalam tradisi Bali dengan muatan puisi yang akan ditayangkan.
Sekali waktu Pak Umbu pernah membagi-bagikan Kalender Bali kepada kami. Dengan harapan agar kalender itu kami jadikan acuan kreatif, terutama dalam menulis puisi. Ya, begitu bermakna sebuah kalender baginya, begitu berarti deretan angka-angka yang tertata rapi itu dalam mengolah kreativitas memperhitungkan langkah hidup dan kehidupan: "penanggalan penuh coretan selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan".
Atau juga, Pak Umbu sering memperhitung-hitungkan angka tertentu agar menjadi "rumus" dasar kami mencari sesuatu. Misal, dia tak henti-henti mengingatkan kami soal peristiwa Sumpah Pemuda; "90 tahun sumpah pemuda 70 tahun kemerdekaan," katanya. Dan kami selalu diminta untuk mengolah, menafsirkannya ke dalam puisi rumusan 7090 ini.
Begitu pula dengan acara reguler bulanan Jatijagat Kampung Puisi yang dinamakan "Ngampung Seni". Pak Umbu meminta kami menyelenggarakannya antara tanggal 25, 26, dan 27. Tanggal 26 ini milik tsunami Aceh, sedangkan tanggal 27 milik gempa Jogja dan tanggal lahir Emha. Begitu menurut dia. Dan acara ini (selama dua tahunan terakhir) selalu diwajibkan membaca "Sajak Seorang Tua kepada Istrinya" milik Rendra dan pembacaannya ditugaskan ke Jengki Sunarta, karena puisi itu di dalamnya menyebut "sembilan puluh tahun", menyebut angka, angka yang sama dengan umur Sumpah Pemuda (pada tahun 2018).
Selain itu, dia juga sering membuat coretan-coretan warna atau sketsa dalam kertas, dalam buku-buku yang akan dikasihkan ke kami, juga ilustrasi di halaman Apresiasi Minggu Bali Post. Coretan-coretannya sekilas lebih mirip jimat dengan nuansa misterinya ketimbang sebagai sketsa.
Dan, di luar teka-teki, rahasia angka-huruf itu, selebihnya adalah teka-teki dan rahasia jalan hidupnya dengan puisi...
![]() |
"Stempel" Umbu untuk JKP |
0 Komentar