*Oleh: Kim Al Ghozali
Jika
kita menelusuri pustaka
sejarah, sulit dicari jejak Probolinggo di zaman dahulu. Kalaupun ada,
sebagaimana terabadikan dalam Negarakrtama
(Pupuh XXI/1 dan XXXIV/4), hanyalah nama-nama pedukuhan yang kini sebagian
nama-nama itu masih dipakai dan posisinya masuk ke dalam wilayah Probolinggo,
baik kota maupun kabupaten. Dibandingkan dengan kota-kota lainnya, misal
Pasuruan atau Lumajang—untuk menyebut kota terdekat—yang namanya sudah eksis
sejak era kerajaan di Tanah Jawa, tentu Probolinggo terkesan alpa, seolah tak
memiliki peran di abad pertengahan dan hanya merupakan tanah kosong, liar tanpa
penghuni. Dan hal itu memang benar adanya, meski tak sepenuhnya benar.
Ada
sebab yang menjadikan ketakhadiran Probolinggo dalam sejarah. Di antaranya
adalah pada masa pra Indonesia, terutama abad XVI dan seterusnya ke belakang,
Probolinggo bukan wilayah pusat kekuasaan. Ketika kerajaan besar di Jawa Timur
berdiri, seperti Singasari dan Majapahit, ia masih hutan belantara. Ataupun
kalau ada pemukiman, hanya berupa pedukuhan-pedukuhan kecil yang tersebar di
beberapa titik dan tidak mempunyai posisi yang cukup penting, terutama secara
politik. Bahkan ketika Majapahit terpecah menjadi dua, Majapahit Barat dan
Majapahit Timur, wilayah yang kini dikenal sebagai Probolinggo ini tak lain
hanya merupakan tapal batas kekuasaan. Di kemudian hari menjadi tempat
pertemuan dua kekuatan antara barat dan timur dalam Perang Paregreg, maupun sebagai
gerbang pertahanan Hinduisme terakhir di Jawa; Blambangan, dari serangan
Kesultanan Demak dan Mataram Islam.
Secara
sosio-kultural, Probolinggo tentu tidak jauh berbeda dengan beberapa kota
lainnya di bagian timur Jawa (baca: Tapal Kuda) karena memang memiliki
kesejarahan yang sama sebagai tempat yang mulanya ‘liar’ kemudian digarap oleh
pemerintah kolonial sehingga menarik orang-orang dari luar wilayah ini,
terutama dari Madura dan Jawa Mataram untuk pindah ke sini dengan tujuan utama untuk
mencari penghidupan baru.

Nama
Probolinggo baru muncul pada abad kedelapan belas, tepatnya tahun 1770 saat
pemerintahan Bupati Joyonagoro di bawah sistem pemerintahan VOC. Tempat yang
semula bernama “Banger” diubah menjadi “Probolinggo”, yang secara etimologi
berasal dari kata “prabu” dan “linggih”. Arti harfiahnya adalah “Prabu
Singgah”, mengacu pada persinggahan Prabu Hayam Wuruk pada 4 September 1359
saat bersafari ke wilayah kekuasaannya di bagian timur, di antaranya adalah mengunjungi
beberapa pedukuhan yang terletak di kawasan Probolinggo. Sedangkan nama Banger
yang dipakai dan dikenal lebih dahulu merupakan nama salah satu sungai yang
melintasi kawasan kota Probolinggo. Nama Banger ini selalu diidentikkan dengan
cerita rakyat tentang terbunuhnya Prabu Minak Jinggo saat bertarung dengan
Damar Wulan dan kepalanya terpenggal ke sungai, sehingga darah Minak Jinggo
yang berbaur dengan air sungai menyebabkan bau sungai menjadi tidak sedap
(banger).
Sejak
itulah nama Probolinggo mulai eksis, seering semakin kokohnya kekuasaan VOC di
ujung timur Jawa. Bahkan sempat dijadikan ibukota provinsi Java Oosthoek (Ujung timur Jawa). Hal ini juga terekam abadi dalam tembang Jawa terkenal “Asmaradana” yang
dikarang pada sekitar abad kedelapan belas yang menyebut nama Probolinggo
sebagai tempat tujuan Damar Wulan untuk bertemu Minak Jinggo, bukan lagi
menyebut Banger.
Lalu
di mana posisi Probolinggo secara kebudayaan? Sebelum menjawab pertanyaan ini
lebih jauh, ada baiknya kita menelusuri sejarah terbentuknya keadaan sosial
masyarakat Probolinggo. Sebab, bagaimanapun kita akan sulit membicarakan budaya
masyarakat suatu daerah tanpa membaca kembali ‘akar’ daerah atau masyarakat tersebut.
Kita tahu tak ada satu pun kebudayaan yang lahir dari kekosongan, atau ujug-ujug
muncul ke permukaan. Kebudayaan merupakan hasil dialektika panjang,
persinggungan langsung dan tak langsung antara dirinya dengan luar dirinya
sehingga kemudian menjadi keunikan tersendiri, menjadi ciri khas atau
karakteristis yang berbeda dengan lainnya dan bisa digunakan sebagai identitas. Hal ini selaras dengan pandangan
Ralph Linton, ahli antropolog dari Amerika, bahwa kebudayaan merupakan seluruh
bentuk sikap dan tingkah laku serta kebiasaan yang diwariskan.
Probolinggo
adalah wilayah yang identik dengan kedatangan, tempat migrasi terutama orang-orang
dari Pulau Madura. Ini terjadi sejak masa kekuasaan VOC di akhir abad ketujuh
belas. Dan sulit ditemukan warisan budaya Probolinggo dari masa pra-kedatangan
ini yang eksis sampai hari ini. Sebagaimana disebut di muka, wilayah ini pada
sebelum kedatangan kolonialisme Eropa bukan wilayah pusat kerajaan dan tentu bukan
wilayah padat penduduk. Keberadaan penduduk lama wilayah Probolinggo besar
kemungkinan menghilang pasca terjadinya perang Blambangan – VOC (Perang Bayu)
yang terjadi pada tahun 1771-1772 di mana perang ini merupakan perang yang
paling banyak memakan korban yang pernah dilakukan VOC atau Belanda, yaitu dari
65 ribu penduduk Blambangan hanya menyisakan 5 ribu penduduk, dan mengubah demografi penduduk Tapal kuda secara keseluruhan.
Kemungkinan mereka terlibat dan menjadi korban perang atau pindah ke tempat
lain yang lebih aman. Akhirnya Probolinggo (dan Tapal Kuda) menjadi ‘wilayah baru’
yang secara politis dikuasai VOC.
Pasukan Madura yang menjadi salah satu pasukan tempur VOC
dalam Perang Bayu menetap di tempat ‘baru’ ini, kemudian menarik minat
orang-orang Madura lainnya untuk datang. Mereka melakukan
migrasi untuk membuka lahan-lahan pertanian maupun
sebagai pekerja kasar, dan
disusul kerabat-kerabat mereka sampai beberapa generasi.
Kaum
pendatang beserta budaya yang dibawa dari tempat tinggalnya inilah kemudian bersinggungan
dengan kebudayaan lain sesama orang baru di wilayah baru sehingga mengalami
hibrida budaya dan menjadi penanda budaya Probolinggo sekarang. Masyarakat dan
budaya Madura menjadi signifikan di tempat ini. Atau dalam kata lain orang
Probolinggo hari ini secara genealogis adalah orang Madura. Meski kemudian
seiring berjalannya waktu secara intens mereka bersentuhan dan berdialekti
dengan ragam kebudayaan yang ada, baik itu Jawa, Tionghoa, maupun etnik lainnya
yang sesama pendatang.
Sebagaimana
terekam dalam sensus atau volkstelling
1930 pemerintah kolonial Belanda, bahwa di pojok timur Jawa, terutama di Probolinggo penduduk
Madura populasinya kisaran 72 persen, di Kraksaan sebanyak 88,3 persen. Dengan
rincian orang Madura kelahiran Sampang berada di jumlah teratas. Perpindahan
secara besar-besaran mencapai puncaknya adalah ada pada masa industri gula Hindia Belanda (1830-1942) sehingga Probolinggo
menjadi wilayah cukup padat dibandingkan wilayah sekitarnya.
Karena
bagaimanapun, wilayah yang dilewati angin fohn (angin lokal) bernama angin
gending ini menjadi tempat yang cukup istimewa bagi pemerintah kolonial. Selain
kesuburan tanahnya yang mampu menghasilkan komoditas perkebunan cukup
menjanjikan, juga memiliki pelabuhan berskala sedang yang bisa menyalurkan
barang atau sebagai sarana ekspor. Akhirnya, dari 101 pabrik gula di Jawa Timur
(Provinsi yang memiliki pabrik gula terbanyak pada masa itu) ada 12 pabrik gula
yang beroperasi di Probolinggo.
Banyaknya
perkebunan untuk kebutuhan industri kemudian berbanding lurus dengan banyaknya
tenaga kerja yang dibutuhkan. Sejak saat itu gelombang migrasi secara
besar-besaran dimulai, dengan tujuan mereka menjadi tenaga kerja kasar di
perkebunan maupun di pabrik, dengan sistem kerja upah dan kontrak.
Identitas
Budaya
Di
kemudian waktu kaum pendatang inilah
yang menjadi cikal bakal komunitas masyarakat atau leluhur manusia Tapal Kuda.
Bahkan ada klaim bahwa bagian timur Jawa (termasuk Probolinggo di dalamnya)
adalah ‘negeri kedua orang Madura’. Dan tentu itu benar adanya jika dilihat
dari kuantitas dan signifikasi orang-orang Madura keturunan yang mendiami
wilayah ini. Tapi secara kultural terlihat juga adanya pembeda dan karakteristik
sendiri akibat pencampuran budaya yang ada—meskipun budaya Madura masih lebih
mendominasi.
Karena
hal inilah lalu lahir wacana tentang konsep “pendalungan”, sebagai sub kultur
dan menjadi identitas baru, yang tentu cukup relevan dengan konteks
sosio-kultural masyarakat bagian timur Jawa. Meski istilah “pendalungan”
sendiri bukan sesuatu yang baru dan memiliki ragam pengertian, namun baru
dibahas secara serius dan akademik sejak tahun 2000-an, seturut dengan
perubahan suasana politik nasional dari Orde Baru yang sentralistik dan sarat
penyeragaman ke suasana reformasi yang lebih cair dan mengakomodasi keberagaman.
Pendalungan berarti periuk besar yang menampung banyak hal. Dalam konteks ini yaitu
menampung ragam etnik yang melebur kemudian membentuk sesuatu yang otentik dan
memiliki perbedaan-perbedaan dengan kebudayaan induknya.
Mula-mula
wacana ini direspons oleh pemerintah Kota Probolinggo dengan diadakannya
acara-acara yang bertajuk “pendalungan”, bahkan kemudian memproklamirkan diri
sebagai Ibu Kota Pendalungan pada tahun 2010. Lalu disusul Jember, dan
kota-kota lainnya. Sejak itu istilah pendalungan menjadi dikenal di kalangan
lebih luas. Seturut dengan diadakannya agenda-agenda budaya dengan mengusung
tema itu.
Namun,
seperti yang ditulis M. Ilham dalam buku Orang-Orang
Pendalungan: Penganyam Kebudayaan di Tapal Kuda, masyarakat Pendalungan
masih memiliki memori kolektif yang rendah jika dibandingkan dengan masyarakat
dalam kebudayaan lain. Sehingga konsep Pendalungan ini memang belum efektif dan
maksimal untuk menjadi identitas budaya yang memang sudah seharusnya.
Meski
secara organik, kebudayaan pendalungan itu ada dan sebagai realitas masyarakat
bagian timur Jawa atau Tapal Kuda, khususnya di Probolinggo. Misal, dalam
kehidupan sehari-hari ada pencampuran bahasa Madura dan Jawa yang khas yang
digunakan masyarakat di wilayah ini, kemunculan kosa kata baru yang tidak ada
dalam bahasa Jawa maupun bahasa Madura, ataupun ragam kesenian rakyat hasil
berkawinan antar budaya sehingga melahirkan kesenian baru. Dalam hal ini untuk
menyebut satu contoh adalah Tari Glipang sebagai wujud tarian yang lahir hasil campuran dua
kebudayaan induk orang Probolinggo; Jawa dan Madura. Bahkan yang semula watak
maritim-egaliter menjadi agraris-egaliter, sebagai representasi pencampuran
watak manusia Jawa dan Madura.
Dan,
membicarakan posisi Probolinggo dalam kebudayaan memang sulit dipisahkan dari
konteks geososio-kultural Tapal Kuda. Identitas pendalungan memang manunggal
dengan Probolinggo tetapi juga dengan daerah lainnya di Tapal Kuda. Namun,
tentu Probolinggo juga memiliki konteks tersendiri yang bisa dikembangkan dan
menjadi otentisitas kependalungannya. Meski, tentu membutuhkan waktu tidak
sebentar, mengingat ia sebagai wilayah yang baru ‘berpenghuni’ komunitas
masyarakat tidak lebih dari tiga abad.
Namun
di situlah keberuntungannya, dengan realitas pendalungan yang merdeka secara
budaya, karena tak punya kebudayaan induk sebagai leluhur yang harus dipatuhi, kalaupun
ada tak lebih sebagai nilai historis dan hubungan masa lalu belaka serta tak
memikul beban warisan di masa kini,
terus menerus melakukan dialog dan tawar menawar secara dinamis dengan ragam
kebudayaan yang ada dan datang, yang sama-sama sebagai anak hilang dari
kebudayaan mapan, akan menjadi dialektika menarik. Atau setidaknya, dengan
semangat budaya pendalungan akan lepas dari jebakan lokalitas yang sempit, dari
perangkap ekslusivitas budaya dan semangat primordialitas. (*)
*Pertama kali tayang di Lentera Bayuangga Edisi 3/Okt 2019.
0 Komentar