Setiap
petualangan selalu memiliki sisi mengesankan sekaligus tantangan, baik
petualangan yang bersifat jasmani maupun ruhani. Dan memang begitulah esensi
dari petualangan. Bahkan hidup tak lain adalah petualangan yang kita sendiri
sebagai petualang yang tak pernah tahu di mana dan kapan batas petualangan itu.
Kita adalah petualang bagi hidup kita, dan seringkali kita menjumpai hal-hal
yang memesona serta mengkhawatirkan saat petualangan berlangsung.
Seorang
penyair sudah barang tentu akan mengabadikannya dalam puisi terhadap apa yang
mengesankan dan menggugah kesadaran puitiknya atau membangkitkan epifaninya
saat berhadapan dengan realitas, alam, manusia, benda-benda, mitos, ritus,
relasi, bahkan politik yang ditemuinya selama berada dalam petualangannya itu.
Wayan
Jengki Sunarta termasuk seorang petualang dalam tiga hal: Pertama, seorang
petualang jasmani. Dia banyak melakukan perjalanan ke berbagai tempat dengan
berbagai tujuan. Kedua, sebagai seorang petualang ruhani. Dia banyak melakukan
olah kejiwaan, samadi, meditasi atau hal-hal lainnya yang berkaitan dengan
mistisisme Bali. Ketiga, dia seorang petualang dalam ranah kreatif. Mula-mula
dia menulis puisi, kemudian berpetualang ke cerpen, esai, kurator seni rupa sampai
akhirnya menulis novel. Selanjutnya, kita sama-sama tidak tahu seperti apa
petualangan kreatifnya. Apakah dia akan berpetualang menjadi pelukis, misalnya,
kita hanya sama-sama menunggu apa yang hendak ditawarkan di kemudian waktu.
Atau mungkin dia akan berpetualang dalam arti akan melakukan pergeseran
estetika secara radikal dari estetika yang dia anut selama ini? Kita juga tidak
tahu. Yang pasti, seorang pekerja kreatif akan selalu tergoda untuk melakukan
petualangan kreatif. Seorang pekerja kreatif yang mengalami status quo
estetika sejatinya dia sedang mengalami kematian.
Sebelum
Petualang Sabang atau sebelum Wayan Jengki Sunarta berpetualang ke Sabang, dia
memang dikenal sebagai penyair yang banyak menuliskan puisi petualangan
atau perjalanan (Selanjutnya “petualangan” akan saya sebut “perjalanan” agar
lebih teknis). Di beberapa buku puisi yang pernah diterbitkan sebelumnya, dia
selalu menyisipkan puisi-puisi perjalanan. Baik dalam bentuk keharuan atas
pengalamannya, perasaan terasing, terpukau dengan apa yang baru dilihatnya
maupun dalam bentuk protes karena ada sesuatu yang tidak beres dengan tempat
yang Jengki—panggilan akrab penyair kelahiran Denpasar, 22 Juni 1975
ini—singgahi.
Di
bukunya yang lain misalnya, Montase (Pustaka
Ekspresi, 2016), pada puisi “Menyusuri Malam Braga”: malam pun buta /
pelacur merayu udara berdebu / tukang parkir bercengkerama / dengan kerlip
lelampu. Sayup-sayup dia memotret realitas urban—dengan nada yang sedikit
menggugat. Bahkan dalam banyak puisi dengan tema serupa Jengki tidak hanya
memotret dengan realitas sosial yang disaksikannya, atau sebatas impresi
perasaannya terhadap sesuatu yang baru, tetapi Jengki seringkali berulang-alik
antara dirinya dengan di luar dirinya. Sehingga kadangkala puisi-puisi
perjalanannya tidak semata berhenti sebagai kabar atas sesuatu yang jauh,
melainkan menjadi sesuatu yang begitu dekat dan kita kenal.
Tak
jarang pula dalam puisi perjalanannya Jengki membuat semacam alusi, bahwa
perjalanannya tidak semata sebagai perjalanan fisik, melainkan sebagai
pengembaraan jiwa. Perjalanan batin. Pengembaraan yang didorong kegelisahan
eksistensial sebagai anak manusia. Sebagaimana tergambar dalam puisi “Tangga
Tujuh” : Kami
terus menapaki undakan / di manakah ujung pendakian ini? / sekali waktu tubuh
lelah / begitu pula jiwa. (hal: 4). Atau dalam puisi “Pelaut Tua” (hal: 29)
yang dia dedikasikan kepada penyair Warih Wisatsana: lihatlah, elang laut
telah pulang / dan camar-camar berteduh / di keheningan senja // kini saatnya
kita / mengarungi / samudera tak bertepi / dalam diri.
Buku
Petualang Sabang yang diterbitkan penerbit Pustaka Ekspresi (Agustus, 2018) ini
semakin menegaskan ketertarikan Jengki dengan puisi bertema perjalanan. Puisi
(yang) berpetualang. Dari lima puluh puisi yang ada di dalam buku tersebut,
semuanya bercerita tentang sebuah tempat yang jauh, tempat yang sebatas
disinggahi atau ditempati sementara oleh penyairnya. Jengki menuliskan nama
banyak tempat dalam puisi-puisi di buku ini, yang semua tempat itu berada dalam
wilayah administratif Sabang, sebuah kota paling barat Indonesia yang terletak
di pulau Weh, Provinsi Aceh.
Seperti
yang ditulis oleh Jengki dalam pengantar buku ini, bahwa dia berada di sana
selama bulan Oktober dan November 2016 dalam rangka mengikuti program residensi
Sastrawan Berkarya dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, dan selama itu pula lima puluh puisi ini
ditulis. Sebagaimana pengakuannya, Sabang adalah sebuah tempat yang baru
pertama kali dia kunjungi. Sebelumnya Jengki hanya tahu Sabang sebatas namanya
dari lagu “Dari Sabang Sampai Merauke” ciptaan R. Suharjo.
Maka
tak heran puisi-puisi dalam buku ini, baik secara implisit atau eksplisit
mengandung ekspresi terpesona terhadap Sabang dan berbagai hal di dalamnya.
Atau kalau menurut penyairnya adalah sebagai puisi-puisi impresi. Puisi yang
lahir karena kesan atau menarik perhatian terhadap suatu hal. Baik terhadap apa
yang dilihatnya, dipikirkannya atau dirasakannya.
Puisi-puisi
yang bersifat impresi di satu sisi memang turut menghanyutkan pembacanya pada
suasana tempat tertentu melalui aspek-aspek visual dan citraan alam yang
dibangun sedemikian rupa oleh penyairnya. Simak misalnya pada puisi berikut:
kuseberangi laut
sejernih kaca
ikan dan ganggang menari riang
damai dalam terumbu karang
tak ada yang mengusik mereka
tiba aku di pulau tua
kucari jejak Snouck Hurgronje
namun yang kutemukan
makam Cut Nyak Rubiah
di sini, dulu, orang-orang
yang merindukan Mekkah
telah terpisah dengan keluarga
tafakur dalam naungan hutan
menyimak deru laut jauh
di sini, kini, aku meracik kisah
membaca tilas-tilas yang membekas
pada sisa bangunan karantina
sepanjang jalan menuju dermaga
sejauh jalan menuju jiwamu
(Pulau Rubiah,
hal: 31)
Namun
di sisi lain puisi impresi seringkali sifatnya hanya memotret atau memberi
kabar yang sekilas lalu. Puisi impresi lebih banyak memainkan suara alam, deru
laut, bisik misteri, kedamaian terumbu karang atau air yang sejernih kaca. Jubahmu biru toska /
menyembunyikan rahasia / purbani. (Gua Sarang, hal:
41). Apa yang dikabarkan bukan sebuah realitas dalam pengertian yang kompleks.
Terutama tentang keadaan sosial-budaya-politik dan segala problematika
masyarakat Sabang, misalnya. Tentu tentang sebuah keadaan masyarakat secara
lebih terperinci dan mendalam akan sulit dicari jejaknya dalam puisi-puisi impresi.
Meski
Jengki secara sadar juga menyinggung sejarah Aceh, melalui lariknya: Kucari jejak Snouck
Hurgronje / Namun yang kutemukan / Makam Cut Nyak Rubiah. Dengan satu nama
yang kita temukan di larik puisi Pulau Rubiah itu, “Snouck Hurgronje” ingatan
kita tentu akan dibawa melanglang buana pada sejarah Aceh. Tentang perang Aceh
yang dahsyat. Tentang perlawanan panjang rakyat Aceh. Tentang kegigihan dan
pemeluk teguh manusia Tanah Rencong, dan tentang segala siasat Belanda untuk
memenangkan peperangan di ujung barat nusantara itu, sehingga akhirnya muncul
nama Christiaan Snouck Hurgrnje, seorang orientalis yang banyak mempelajari
Aceh dan Islam, kemudian Belanda menemukan celah untuk melemahkan semangat
jihad rakyat Aceh. Sedangkan Cut Nyak Rubiah sendiri yang muncul dalam puisi di
atas adalah nama dari istrinya Teungku di Iboih, yang kisahnya lebih mirip
legenda dan kemudian menjadi nama dan asal-usul Pulau Rubiah. Namun meski
begitu, puisi tersebut tetaplah sebagai puisi impresi, bukan “puisi sejarah”.
Jengki meminjam anasir sejarah untuk membangun suasana tertentu atas puisi
impresinya.
Sabagaimana
kita tahu, Aceh (dan Sabang di dalamnya) adalah salah satu tempat yang banyak
menyedot perhatian dalam sejarah modern Indonesia. Provinsi yang mendapat
julukan Serambi Mekkah itu pernah mengalami konflik panjang, yaitu sejak
bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dikibarkan pada tahun 1976. Ribuan nyawa
tumbang akibat dijadikannya Daerah Operasi Militer (DOM) oleh pemerintah
Republik Indonesia. Sejarah Aceh adalah sejarah yang menegangkan dan berdarah
hingga tahun 2004. Bahkan pasca perjanjian (paksa) damai—karena peristiwa
tsunami—Aceh sampai kini masih selalu menjadi sorotan karena diberlakukannya
syariat Islam di sana. Mulai dari diaktifkannya polisi syariat, hukum cambuk,
peraturan yang ketat, dsb. Yang bagi kebanyakan orang di luar Aceh hal itu
terasa konyol, tapi sekaligus mengundang rasa ingin tahu. Usai menyaksikan
hukuman cambuk / engkau sujud di hamparan sajadah // bulan sabit dan bintang
berkilau / di puncak kubah. (Di masjid Agung
Babussalam, hal: 16).
Namun,
meskipun mengambil tema Sabang—Aceh, dan keseluruhan puisi dalam buku Petualang
Sabang ini berkabar dari dan/atau tentang Sabang, kita sulit mencari jejak peristiwa-peristiwa
besar yang pernah terjadi di Aceh, atau setidaknya situasi sosial masyarakat
sana. Meski Sabang agak terpisah dari pusat konflik, tapi karena masih menjadi
bagian dari Aceh tentu sedikit banyak terkena dampaknya juga. Setidaknya secara
psikologis.
Jika
kita tidak membaca pengakuan penyairnya di pengantar bahwa puisi-puisi dalam
buku ini tak lebih sebagai puisi impresi, maka kita siap-siap untuk kecewa
karena tak membicarakan Sabang—Aceh sebagaimana Aceh yang berada dalam gambaran
di kepala kita selama ini.
Barangkali
hanya pada puisi berikut ini kita sedikit menemukan gambaran tentang psikologis
masyarakat yang pernah dilanda konflik dan kini menjalani hukum ketat yang
bernama syariat itu:
aku duduk di kedai
kopi
di pojok Pasar Sabang
beberapa orang melirikku
dengan sudut mata penasaran
agaknya, rajah di leherku
dan rambut gondrong
bikin aku tampak asing
pasar makin riuh
dalam irama niaga
usai menikmati kopi
aku bergegas pergi
betapa tak mudah
menjadi diri sendiri
di negeri ini
(Pasar Sabang,
hal: 9)
Insting
dan kejiwaan masyakarat yang pernah mengalami konflik tentu akan berbeda dengan
masyakarat yang berada di wilayah normal. Masyarakat yang pernah mengalami
konflik sosial sudah barang tentu lebih mawas dan punya kecurigaan pada orang
asing. Apalagi orang asing itu secara atributif berbeda dengan mereka, bahkan
mungkin bertentangan dengan hukum yang berlaku di sana. Beberapa orang
melirikku /
dengan sudut mata penasaran / agaknya, rajah di leherku / dan rambut gondrong /
bikin aku tampak asing.
Sepertinya
hanya puisi ini yang sedikit berbeda dengan puisi-puisi lainnya dalam buku ini.
Yang sedikit melenceng dari sifat-sifat impresi dengan bangunan citraan visual
dan alam. Dalam puisi ini Jengki melakukan protes walaupun hanya terdengar
bisik-bisik: betapa
tak mudah / menjadi diri sendiri / di negeri ini.
Sebagai
puisi-puisi impresi seperti yang diniatkan oleh penyairnya, tentu puisi-puisi
dalam buku ini berhasil. Dengan memainkan larik-larik pendek yang terjaga,
dengan irama yang lembut dan citraan visual yang ketat, kita seperti sedang
disuguhi serangkaian foto yang dipotret seorang fotografer andal yang sedang
berpetualang. Foto dengan pencahayaan pas, foto yang menawarkan aneka view alam yang belum
pernah kita kunjungi tapi serasa begitu akrab dan begitu dekat.
Dan
akhirnya kita memang tak perlu mencari gambaran sosial masyarakat Sabang
terlalu terperinci dan jauh meskipun puisi-puisi dalam buku ini berkabar
dari/atau tentang Sabang, karena puisi bukanlah sebagai dokumentasi sosial. []
Judul
: Petualang Sabang
Penulis
: Wayan
Jengki Sunarta
Tebal
Buku : 75 halaman
Penerbit
: Pustaka Ekspresi
Cetakan
: Pertama, Agustus 2018
ISBN
: 978-602-5408-45-8
0 Komentar