Aku tak cukup ingat kapan
pertama kali tahu nama Umbu Landu Paranggi, tapi pastinya lewat tulisan
tentangnya yang pernah aku baca. Mungkin di koran/majalah. Mungkin di internet.
Dan dari tulisan itu kutahu dia seorang Guru Besar para penyair sekaligus seorang
penyair yang tak cukup populer karya-karyanya tapi melalui tangan dinginnya
selama empat dekade lebih telah "melahirkan" banyak penyair penting
dalam kesusastraan Indonesia.
Bertahun-tahun setelah kutahu tentangnya, waktu memberiku kesempatan untuk bertemu. Pertemuan pertamaku dengan Pak Umbu mudah saja, tak perlu "berjuang" seperti cerita beberapa penyair saat mau bertemu dengannya. Tentu karena aku bukan siapa-siapa, jadi gampang-gampang saja dan dia tak perlu menghindar. Aku tinggal nunut Maulana Rizki ke Bali Post yang saat itu dia hampir setiap malam Minggu mengemban tugas khusus untuk bertemu Pak Umbu. Kami menemuinya di lantai dua kantor Bali Post. Rizki dan Pak Umbu terlibat percakapan mengasyikkan seputar seseorang di seberang, tentang karir dan perjalanan hidupnya. Sedangkan aku hanya duduk manis di dekatnya, menyimak segala percakapan sambil terus menerus membatin, "Oh inilah manusia hebat itu, yang bekerja dalam senyap, seperti air meresap dalam tanah mencari akar-akar agar tanaman tumbuh dan hidup di atas bumi."
Dan pertemuan pun berlanjut hingga minggu-minggu berikutnya.
Saat itu aku sudah cukup intens menulis meski hanya seorang diri, maksudnya tanpa pergaulan kreatif dan lingkar teman-teman sastra. Namun aku merasa perlu ada orang lain yang memberi "jalan pengetahuan", dalam arti seorang guru. Kini ketika bertemu Pak Umbu aku justru tak berani mengutarakannya kalau aku menulis dan ingin belajar. Hingga, dalam salah satu pertemuan malam Minggu itu Pak Umbu meminta kepada kami untuk mencarikan bukunya Emha, "Indonesia Bagian dari Desa Saya". Buku itu akan dikasihkan ke anaknya yang bergerak di organisasi lingkungan hidup, katanya.
"Anak bapak nulis juga?" tanya Rizki. "Loh tak perlu menulis, sudah ada yang menulis. Tak perlu jadi penulis semua. Tinggal menjalankan apa yang sudah ada di buku," jawab Pak Umbu.
Kepada Rizki kubilang aku yang ambil tanggung jawab untuk mendapatkan buku itu. Kucari buku itu di semua toko buku yang ada di Denpasar. Tak ketemu. Cukup sulit karena udah lama terbit (terbitan pertama tahun 1992) dan tak sedang cetak ulang. Akhirnya aku pesan di lapak online. Ketika buku itu kudapat, masih bersama Rizki, langsung kuserahkan buku itu ke Pak Umbu. Sejak itu aku merasa telah memulai "berkenalan" dengan Pak Umbu dan memutuskan sudah saatnya untuk mengutarakan keinginanku untuk berguru.
Pada minggu berikutnya aku datang seorang diri menemui Pak Umbu, tanpa sepengetahuan Rizki. Kubawakan Pak Umbu setumpuk puisi-puisiku yang sudah aku print-out. Aku sodorkan puisi-puisiku itu sambil bilang dengan polosnya, "Pak, saya pengen belajar menulis puisi. Ini puisi-puisi saya." Pak Umbu merespons pendek saja: "O, bagus." Dia menimang-nimang dan membolak-balik puisiku. Karena aku tak mencantumkan biografi di puisiku, dia menanyakan tanggal lahirku dan kota asalku. (Di kemudian hari kutahu tanggal lahir merupakan sesuatu yang sangat penting bagi Pak Umbu. Dia hafal banyak tanggal lahir sastrawan atau seniman!).
Kepadaku kemudian Pak Umbu menceritakan Jogja dan beberapa penyair yang menurutnya aku harus membacanya. Juga menceritakan Emha/Cak Nun muda, yang baginya sejak awal sudah sangat kelihatan berbakat. Saat ulang tahun Persada Studi Klub Emha menulis esai berjudul (kalau tidak salah) "Pohon Rumah Burung-burung" yang membuat Pak Umbu sangat tertarik. "Bayangkan loh, ketika itu dia masih SMA," katanya. Tapi obrolan berhenti di situ, karena aku tak tahu harus menanggapi pembicaraan atau cerita Pak Umbu lebih jauh dan, seperti biasa, Pak Umbu lebih pendek pembicaraannya jika tak dipancing atau dipantik.
Beberapa minggu selanjutnya kami, aku, Jengki, dan beberapa teman lainnya kongkow di halaman Bali Post. (Belum ada Jatijagat Kampung Puisi/JKP, jadi Jengki dkk kongkownya kadang di Bali Post). Saat itu aku baru kenal Jengki dan olehnya aku di-sms diajak ngumpul. Sehabis menyelesaikan tugasnya mempersiapkan halaman sastra Bali Post Minggu, Pak Umbu datang, bergabung bersama kami. Dia membawa kertas yang digulung dan diikat karet gelang lalu dikasihkan ke aku. Kubuka ternyata kopian beberapa halaman sebuah majalah yang ada tulisan tentang dirinya, selebihnya adalah kertas dengan tulisan yang aku kenal, yaitu print-out puisi-puisiku yang pernah kuberikan padanya beberapa minggu sebelumnya. Namun beberapa kertas yang ada puisi-puisiku itu sudah banyak coret-coretnya. Puisiku dicoret-coret sama Pak Umbu pakai spidol merah. Pak Umbu tak memberi keterangan apa-apa soal coretan-coretannya. Dia hanya berujar, "feel-nya sudah mengarah ke puisi. Coba dari sekarang tulis puisi yang prosais, prosa yang puitis." Aku hanya plonga-plongo kurang paham apa yang dia maksud.
Ketika mengetahui aku menerima naskah puisiku dikembalikan oleh Pak Umbu dan dicoret-coret, Jengki yang ada di sampingku berujar, "Wah, tumben Bung Umbu nyoret-nyoret puisi orang. Kejadian langka ini. Kau harus arsipkan kertas penuh coretan ini. Ini sejarah." Aku tak tahu ucapan Jengki ini benar atau tidak, tapi kemudian setelah lama mengenali Pak Umbu, sepertinya dia memang tak pernah mencoret-coret puisi orang yang baru menulis puisi. Maksudnya mencoret-coret lalu dikembalikan ke penulisnya sebagai pembelajaran. Justru yang sering mencoret-coret puisi adalah Om Frans Nadjira lewat tradisi sparring partner-nya, yang kemudian kupikir sangat efektif dalam mempelajari teknik dasar menulis puisi.
Setelah mendapat coret-coret ini aku sering datang ke Bali Post untuk menemui Pak Umbu. Biasanya menjelang pukul sepuluh malam pada malam Minggu aku sudah berdiam diri di kursi lorong lantai dua depan pintu ruang kerja Pak Umbu. Tentu aku datang tidak dengan tangan kosong, melainkan membawa setumpuk puisi-puisi baruku, meski tak ada niatan bagiku agar puisi-puisi itu dimuat di Bali Post Minggu, melainkan agar dibaca Pak Umbu. Pak Umbu, seperti biasanya, tentu selalu girang ketika bertemu puisi. Tapi kali ini Pak Umbu tak pernah lagi mengembalikan puisi-puisiku. Mungkin olehnya puisi-puisiku diamankan untuk melihat perkembanganku. Seperti kata seorang temen, "Umbu itu seorang pengarsip yang hebat. Di tempatnya, setiap penyair ada mapnya masing-masing. Tak ada puisi-puisi yang masuk ke genggamannya diabaikan begitu saja. Semua dapat perhatian. Semua disimpan. Dia berbeda dengan redaktur kebanyakan."
Sayang, puisi-puisiku yang dicoret-coret Pak Umbu dan dikembalikan lagi ke aku kemudian hilang begitu saja, tak sesuai permintaan Jengki untuk mengarsipkannya. Aku tak begitu disiplin dalam pengarsipan lembar-lembar kertas yang berdiri sendiri (bukan bentuk buku) dan sering kali pindah tempat selama tinggal di Bali, sehingga mungkin tercecer atau ikut terbuang bersama sampah saat hendak gotong-gotong.
1 Komentar
YAH SAYANG SEKALI BUNG SEMOGA MENJADI PELAJARAN :p
BalasHapus