Di era kiwari,
terutama di media sosial komunitas masyarakat Probolinggo sering kali terdengar
atau terbaca tentang apa yang mereka sebut “Bahasa Bolinggo”. Biasanya berupa
bentuk gambar yang berisi tulisan (semacam kutipan obrolan khas masyarakat
Probolinggo), dalam bentuk meme, ataupun kaos. Juga pernah diselenggarakan
diskusi oleh Dewan Kesenian Kota Probolinggo yang mengangkat tema “Bahasa
Bolinggo”. Yang mereka sebut “Bahasa Bolinggo” tak lain adalah bahasa yang
hidup dalam sehari-hari masyarakat Probolinggo yang biasa mencampuradukkan
Bahasa Madura dengan Bahasa Jawa maupun dengan Bahasa Indonesia. Atau Bahasa
Jawa dengan sintaksis Bahasa Madura.
“Bahasa
Bolinggo” selaras dengan pencarian identitas budaya mereka sebagai masyarakat
Pendalungan—sebuah konsep kebudayaan yang meliputi seluruh wilayah Tapal Kuda
di mana di dalamnya memberi ruang pertemuan beberapa budaya, terutama Jawa dan
Madura—seperti yang jamak dilakukan beberapa tahun terakhir, untuk menentukan
posisi, memberi penegas, dan corak berbeda dari yang lain. Sebagai masyarakat
yang hidup dalam realitas pertemuan dua budaya besar (Madura dan Jawa) yang
kemudian melahirkan produk-produk budaya baru sehingga menjadi khas dan
keunikan tersendiri yang tak ditemui di kebudayaan induk mereka. Termasuk
pertemuan dua atau tiga bahasa.
Namun sepertinya
ada yang keliru dengan istilah “Bahasa Bolinggo” terutama ketika mengacu pada
pemahaman dan tolok ukur bahasa secara ketat, khususnya melalui kacamata
dialektologi. Sudut pandang dialektos pada dasarnya digunakan untuk menunjuk
pada keadaan bahasa suatu daerah yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil
dalam bahasa yang oleh masyarakat di daerah itu digunakan. Melalui
dialektologi, suatu bahasa menjadi mudah diidentifikasi, dengan melihat
unsur-unsur kebahasaan, seperti fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis, dan
semantik.
Melalui
dialektologi ini pula kita menjadi tahu, keberadaan “Bahasa Bolinggo” atau
bahasa yang digunakan oleh komunitas masyarakat Probolinggo itu sah atau tidak
disebut sebagai bahasa baru, sebagai bahasa tersendiri, bahasa yang memisahkan
diri dari bahasa kebudayaan induknya.
Metode
penelitian dialektometri[1] biasanya memiliki rumusan:
Sx100 = d% n. Pengertian
simbol “S” adalah jumlah beda dengan titik pengamatan lain. “n” adalah jumlah
peta yang diperbandingkan, dan “d” sebagai presentasi jarak unsur-unsur
kebahasaan antar titik pengamatan. Hasil dari pengamatan antar titik kemudian
bisa dikriteriakan begini: Jika terdapat 81% ke atas perbedaan bahasa dari
jumlah peta yang diperbandingkan, tentu bahasa di titik pengamatan akan disebut
sebagai “perbedaan bahasa”, atau dalam kata lain sah disebut sebagai bahasa
baru. Jika perbedaan hanya mencapai 51%-80% dianggap perbedaan dialek, 31%-50%
dianggap perbedaan subdialek, 21%-30% dianggap perbedaan wicara, dan di bawah
20% dianggap tidak ada perbedaan.
Pertanyaan yang
kemudian mempunyai relevansi dengan istilah yang disebut “Bahasa Bolinggo”
adalah, apakah komunitas masyarakat Probolinggo dengan bahasa yang hidup di
dalamnya yang biasa mengasimilasikan dua atau tiga bahasa itu sudah memiliki
atau melahirkan perbedaan bahasa sampai di atas 81% dengan bahasa lain,
terutama dengan bahasa induk mereka? Dan tentu saja konsekuensi logisnya adalah
ketika perbedaan, katakanlah tidak melahirkan kosa-kata baru lebih dari 81%
otomatis gugur sebagai bahasa baru.
Jika memakai
metode atau ukuran lebih sederhana adalah begini: bahasa yang hidup dalam satu
komunitas masyarakat bisa disebut sebagai bahasa baru atau bahasa yang berbeda
dengan komunitas masyarakat lain, yaitu apabila si A dari komunitas masyarakat
berbeda, masuk ke komunitas masyarakat tersebut dan untuk berkomunikasi melalui
bahasa masyarakat yang dimasukinya, si A perlu terlebih dahulu mempelajari
bahasa itu, entah itu lewat lembaga pendidikan, kursus, atau langsung ke
masyarakat pemakainya. Artinya, bahasa dalam masyarakat yang dimasuki si A
memang benar-benar asing, berbeda, dan “jejaring kode” bagi terjadinya
repsentasi antara bahasa si A dengan bahasa masyarakat yang dimasukinya memang
tidak sama.
Lalu bagaimana
dengan bahasa masyarakat Probolinggo, apakah sudah bisa disebut bahasa baru
atau belum? Tentu butuh penelitian lebih mendalam. Bukan berdasarkan
klaim-klaim yang simplikasif.
Namun, berdasarkan pengamatan sekilas penulis, sejauh ini bahasa yang digunakan masyarakat Probolinggo yang diistilahkan sebagai “Bahasa Bolinggo” belum mencapai perbedaan-perbedaan massif, apalagi melahirkan kosa-kata baru akibat perubahan semantik dari bahasa asal. Perbedaannya biasanya baru pada tataran fonetik. Yaitu perbedaan bunyi dan berbedaan fonem. Hal ini banyak terjadi pada kata-kata Bahasa Madura di Probolinggo terutama imbuhan sufiks yang tidak dikenal dalam bahasa asalnya di Madura. Sebagai contoh imbuhan akhir “h” dalam banyak kosa-kata Bahasa Madura di Probolinggo. Atau perubahan bunyi “é” ke “e”. Dan selain berkisar pada fonetik, biasanya juga pada sintaksis bahasa, terutama yang sering terjadi pada Bahasa Jawa/Indonesia di Probolinggo yang memakai sintaksis Bahasa Madura.
Berdasarkan
pengamatan sekilas ini bisa ditarik kesimpulan sementara bahwa bahasa
masyarakat Probolinggo itu belum bisa disebut sebaga bahasa baru atau “Bahasa
Bolinggo”. Mungkin sebatas pada tataran subdialek, atau malah cuma perbedaan
wicara. Tentu butuh proses panjang bagi bertemunya dua bahasa atau lebih
sehingga kemudian melahirkan bahasa baru. Di samping perubahan-perubahan secara
alami, tentu harus melibatkan inovasi bahasa secara radikal di tahapan
morfofonemik.
Dan, ketika
bahasa baru ini belum tercapai, apakah kebudayaan Probolinggo atau kebudayaan
Pendalungan-Probolinggo sah disebut sebagai kebudayaan? Mengingat bahasa adalah
salah satu unsur terpenting dalam satu kebudayaan. Sebuah kebudayaan satu
masyarakat dianggap berbeda dengan kebudayaan lainnya jika bahasa yang digunakan
berbeda. Bahkan sebagian kalangan berpendapat, bahasa sebagai simbol eksistensi
atau kulit terluar dari sebuah kebudayaan.
Ataukah
kebudayaan pendalungan di Probolinggo itu cukup diklasifikasikan sebagai sub
dari kebudayaan Madura dan Jawa berdasarkan masing-masing etnisitas kelompok
masyarakatnya? (*)
[1] Metode penelitian
kuantitatif ini banyak digunakan oleh para peneliti bahasa, karena dianggap
mampu melakukan pemilahan bahasa secara objektif.
0 Komentar