Tirto Adhi Soerjo; Bapak Pers dan Pelopor Gerakan Nasional

Oleh: Kim Al Ghozali



Dia yang membuka pintu gerbang menuju jalan kesadaran dan kebangkitan bangsanya, yang kemudian waktu memiliki efek dahsyat, meledak menjadi sebuah revolusi (baca: kemerdekaan). Dia merupakan generasi awal kaum terpelajar pribumi, dari golongan priyayi yang mendapat pendidikan barat (Belanda) setelah pemerintah kolonial menerapkan kebijakan politik etis (memajukan pribumi sejauh hal itu tidak membahayakan kekuasaan pemerintah kolonial). Dan dia juga yang mula-mula memanfaatkan ilmu pengetahuan modern yang didapatkan dari penjajah bangsanya sebagai senjata untuk melawan penjajahnya sendiri. Dialah pelopor gerakan nasional, dengan alat berupa media massa dan organisasi modern pertama di Hindia Belanda yang bercorak nasionalistis. 

Dengan keterbatasan zamannya, dia meraba-raba mencoba mengartikan kata “nasionalisme” dengan pikiran dan tindakan. Meski akhirnya dia harus menanggung risiko yang terbesar: kehancuran dirinya. Perlawanannya ditumpas habis. Tetapi benih yang telah ditabur ke tanah yang dia cintai mulai tumbuh seperti jamur di musim hujan sehingga membuat kewalahan pemerintah Hindia Belanda dan menyadarkan mereka inilah datangnya era kebangkitan kaum pribumi.

R.M. Tirto Adhi Soerjo, lahir di Blora, 1880, merupakan seorang bapak pers nasional dan pendiri Medan Prijaji, surat kabar nasional pertama, sekaligus sebagai—meminjam istilahnya Pramoedya—“Sang Pemula” dalam menghantam kolonialisme Belanda secara modern, terutama lewat tulisan-tulisannya di Medan Prijaji baik dalam bentuk artikel maupun prosa.

Tirto merupakan cucu dari bupati Bojonegoro. Sebagaimana dari keluarga bangsawan di Hindia Belanda dia mendapatkan pendidikan yang memadai. Tetapi tidak seperti golongan kelasnya kebanyakan, di mana mereka benar-benar memanfaatkan kenyamanannya sebagai kelas yang memerintah, dengan sistem feodalisme jabatan bisa didapatkan berdasarkan garis darah, Tirto justru menghindari itu. Bahkan dia menjadi pengkritik alam pikir Jawa yang feodalistik. Satu-satunya yang dia manfaatkan dari kebangsawanannya tak lain hanya gelar “Raden Mas” yang selalu dipakai demi tujuan politik pergerakan, agar dirinya bisa menggunakan forum privilegiatum saat berhadapan dengan hukum pemerintah kolonial. Forum itu membuat dia terhindar dari hukum siksa fisik pemerintah.

Dia juga membuktikan diri menjauhi kekuasaan pribumi yang tak lebih sebagai boneka kolonial adalah dengan memilih sekolah pendidikan kedokteran di STOVIA pada tahun 1900 ketimbang masuk ke sekolah Pangreh Praja—sekolah calon pemimpin pribumi berdasarkan kemauan pemerintah Hindia Belanda. Meskipun akhirnya dia tidak bisa menyelesaikan pendidikannya. Dia dipecat dari sekolah karena mengeluarkan resep obat tanpa ijin demi membantu sahabat Tionghoa-nya yang miskin.

Gagalnya menyelesaikan pendidikan dokter, justru membuat dia menemukan alam baru yang kemudian membuka lebar jalan menuju cita-cita luhurnya. Tirto bergabung dengan koran Pemberita Betawi dan diangkat menjadi redaktur. Bahkan pada tahun 1902 dia dipercaya menjadi penanggung jawab. Dari sana dia banyak belajar soal pers, hukum, dan batas-batas kekuasaan Hindia Belanda. Dia juga sempat mendirikan surat kabar mingguan bernama Soenda Berita.

Melalui tulisan dan keberaniannya, Tirto mulai banyak melakukan kecaman pedas dan makian atas kelicikan pejabat-pejabat kolonial (baik putih maupun cokelat), kesewenang-wenangan kekuasaan, dan paham-paham kolot. Bahkan menurut Sudarjo Tjokrosisworo “dialah wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan surat kabar sebagai pembentuk pendapat umum.” 

Tahun 1902 pertama kali namanya masuk cacatan pemerintah pusat, setelah dia berhasil membongkar skandal yang melibatkan Residen Madiun, J.J. Donner yang menurunkan Bupati Madiun, Brotodiningrat. Adalah Snouck Hurgronje—Penasihat Urusan Pribumi untuk pemerintah Hindia Belanda—yang mula-mula membuat laporan tentang Tirto dan segala aktivitasnya. Sejak itu dia tidak pernah lepas lagi dari perhatian penguasa dan segala geraknya selalu dimata-matai sampai pada masa kehancurannya.

Selain soal pers dan hukum pemerintah, Tirto kemudian juga banyak mempelajari hukum-hukum Islam demi mengenal saudara sebangsanya sendiri—yang mayoritas beragama Islam—secara lebih dekat, demi membela mereka. Pada tahun 1906 dia mendirikan organisasi Sarikat Prijaji dengan bantuan Thamrin Mohamad Thabrie dan R.A.A. Prawiradireja. Donasi yang masuk ke Sarikat Prijaji inilah yang dia manfaatkan untuk menerbitkan koran sendiri, Medan Prijaji (MP). Meski kemudian organisasi tersebut tidak berjalan lancar dan bubar, Medan Prijaji yang mulanya sebagai organ organisasi justru mendapat sambutan hangat dan terus hidup.

Gagalnya Sarikat Prijaji memaksa Tirto untuk berpikir ulang soal landasan organisasi modern. Dia lalu mendirikan Sarikat Dagang Islam (SDI) pada 5 April 1909 dengan landasan yang berbeda dari sebelumnya. Jika SP berlandaskan kelas priyayi dan bangsawan, yang notabene kelas yang secara struktural terikat dengan pemerintah dan tentu tidak bebas sehingga memengarungi pada pergerakan organisasi, Sarikat Dagang Islam sebaliknya, berlandaskan “kaum mardika”, golongan bebas: pedagang, petani, tukang, dan sejenisnya yang tak mendapatkan penghidupan berdasarkan pengabdiannya pada pemerintah Hindia Belanda. Dan unsur pengikatnya adalah agama Islam.

Kala itu adalah era awal perubahan strategi perlawanan pribumi terhadap kolonial, dari perang fisik yang sudah tidak relevan dan tidak memadai lagi, serta telah berakhir sejak Perang Jawa, ke perlawanan lewat politik-organisasi massa secara modern dan intelektualitas kaum terpelajar. Dan di sini, meskipun Jamiat ul-Khair dan Budi Utomo sudah beberapa tahun lebih dulu berdiri sebagai organisasi modern, namun keduanya masih berlandaskan kesukuan. Justru Sarikat Dagang Islam organisasi modern pertama yang bercorak nasionalistis, dengan presiden organisasi diampu oleh Syech Achmad bin Abdurrahman Badjinet, seorang saudagar yang tinggal di Bogor, dan Tirto Adhi Soerjo menempati posisi secretaris-adviseur.    

Bersama Sarikat Dagang Islam, Tirto mengalami kemajuan pesat. Organisasi itu pun menjadi organisasi utama di Hindia Belanda, meski kemudian layaknya sebagai organisasi ia mengalami pasang surut. Dan pada tahap selanjutnya Sarikat Dagang Islam bertransformasi menjadi Sarikat Islam (SI) dan dikendalikan oleh Haji Samanhudi di Solo dengan dasar anggaran baru. Sedangkan Tirto terus bergerak bersama Medan Prijajinya menghantam kekuasaan kolonial dengan tulisan sampai pada titik paling membahayakan. Bahkan MP tidak hanya menjadi sebuah koran, melainkan berkembang menjadi perusahaan pers pribumi pertama bernama N.V Medan Prijaji dan menaungi tiga koran: Medan Prijaji, Soeloeh Keadilan, dan Poetri Hindia. Dengan cepat dia pun menjadi “pusat” dan menjulang di tengah-tengah sebangsanya yang masih rendah dan hina.

Jika pada awal berkarirnya Tirto punya hubungan dengan Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz (memerintah: 1904-1909) sehingga segala aktivitasnya yang bersinggungan dengan pemerintah kolonial masih menjauhkan dia dari marabaya, berbeda dengan ketika Van Heutsz diganti oleh A.W.F. Idenburg (1909-1916), dia tidak punya tameng lagi. Melalui Rinkes (seorang Penasihat Urusan Pribumi untuk pemerintah Hindia Belanda penerus Snouck Hurgronje) pergerakan politiknya mulai dipreteli sedikit demi sedikit. Rinkes seorang penyusup sekaligus arsitek di balik kehancuran pergerakan politik Tirto, termasuk berubahnya SDI ke SI, dan perlahan nama Tirto mulai dipudarkan dengan berbagai cara dari organisasi yang pernah ditimangnya itu.

Bahkan Tirto mulai dikucilkan dari Medan Prijaji dengan dicari-cari kesalahannya. Pada 24 Desember 1912 Tirto dinyatakan bersalah atas artikel yang ditulisnya yang dianggap menghina dan memfitnah Bupati dan Patih Rembang. Dia dijatuhi hukuman buang selama 6 bulan di Ambon dan namanya mulai dihancurkan dengan berbagai “cerita” di media massa. Dia disebut sebagai “pembohong yang brutal” dengan tuduhan telah menggelapkan uang dan menipu dalam bentuk iklan pelelangan.

Tahun 1912 menjadi titik balik bagi Tirto. Dalam pembuangannya yang kesepian dan menjauhkan dirinya dari segala aktivitas politiknya, dia mengalami patah semangat. Bahkan sekembalinya dari pembuangan dirinya telah menjadi asing di antara kawan-kawannya. Dia juga kehilangan semua aset perusahaan dan hak-haknya, termasuk hak atas nama baiknya sendiri. Dia mondar-mandir ke sana-sini dengan “peranannya yang sudah tumpas”.

Dia mencoba bangkit kembali tapi sia-sia. Modal utama bernama “nama baik” sudah tidak dia miliki lagi. Bahkan bumi yang dia cintai dan perjuangkan tidak memberi tempat lagi bagi dirinya. Sejak kembali dari pembuangan dia mengalami masalah dengan kesehatannya. Tirto juga mengalami “kerusakan ingatan”. Dalam keadaan seperti itu, dia ditampung oleh sahabatnya dan meninggal dalam keadaan kesepian pada 7 Desember 1918 di usia yang masih muda, 38 tahun, dengan iring-iringan rombongan yang sangat kecil ke penguburannya, berbanding terbalik dengan jasa-jasanya yang besar dalam membukakan gerbang kesadaran nasional. 

Tidak hanya sampai di situ hukuman yang dijatuhkan kepadanya, setelah kematiannya nama dan sumbangsih Tirto mulai dihapuskan sehingga dilupakan oleh kaum sebangsanya sendiri. (*)

Sumber Pustaka
Toer, Pramoedya Ananta. 1985. Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra.
Tjokrosisworo, Sudarjo. 1958. Kenangan Sekilas Sejarah Perjuangan Pers Sebangsa. Djakarta: Serikat Perusahaan Suratkabar.               
    

Posting Komentar

0 Komentar