Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring. [1]
![]() |
Karya Edvard Munch "The Scream" |
Ikan-ikan
dalam akuarium dengan warna yang menggoda. Ikan dengan ekor
melenggok dalam bening air dan matanya mengisyaratkan bahwa kau boleh berenang
dengannya. Berenang
satu jam, dua jam, tiga jam, atau semalam.
Alangkah
indah ikan-ikan itu, bisikmu.
Air
dari selang kecil terus mengalir, serupa air terjun dalam imajimu dan
menciptakan suara yang mengiringi keheningan malam. Ada lampu warna-warni
dengan cahaya lemah di bagian lain dalam ruang kaca, memancarkan sinarnya
menyoroti wajah ikan-ikan. Ikan-ikan
betina
menjadi tontonan mata kesepianmu dan butuh hiburan, mata malammu yang turun dari puncak dingin
dunia.
***
Kau
datang lagi tepat jam dua belas malam. Matamu lelah dan dadamu penuh luka; luka sayatan pisau dan
tikaman paku;
luka bakar dan luka yang diakibatkan oleh kesepian panjang, luka karena terkaman tangan-tangan musim kejam
sepanjang pengembaraanmu.
Kau
datang dan memasuki kegelapan malam di ujung gang gelap; gelap yang hangat, gelap yang
laknat, gelap yang dosa, gelap yang gelap, gelap segelap lumpur segelap kabut,
segelap hidup.
“Aku
menunggumu sejak tadi,” perempuan itu berkata padamu, perempuan yang keluar
dari akuarium, perempuan jelmaan ikan warna-warni yang biasa kau pandang dari
kegelapan. Kau memandanginya dengan matamu yang jalang, mata yang selalu
menyala dalam malam, mata yang selalu
bertempur
dengan cuaca geram.
Dan
perempuan itu dengan tangannya yang lembut telah menggenggam tanganmu kini,
menyentuh pundakmu dan sesekali mengecup bibirmu yang kelabu.
“Untuk
apa kau menungguku? Apa yang kamu harapkan dariku yang celaka ini?” katamu. Atau sesekali kau merespons dengan ucapan: “Apalah arti seorang
dari seribu lelaki yang mendatangimu silih berganti?”
Perempuan
itu berdiri,
melangkah menuju jendela di kamar yang bercahaya lampu 15 watt. Tangannya yang
seperti tangan yang lain [2] dari
dunia bayangan menarik gorden
yang terbuka setengah, menutup rapat-rapat dari pandangan malam di luar yang
diam-diam mengintip kamar. Di luar, gerimis mulai turun. Dingin menggedor setiap tubuh
manusia yang berlalu lalang, setiap lelaki dan perempuan yang tanpa pasangan.
Sedangkan kota tak lain adalah pentas musik yang super bising, musik dalam
tempo presto dengan satu juta pononton yang berjingkrak.
Kau
tahu, kamar itu tak lain pojok bumi yang lepas dari kebisingan, lepas dari
jarum-jarum maut yang berkeliaran di pusat-pusat kota, di taman-taman, di
jalan-jalan dan rumah-rumah.
Kamar
di pojok bumi itu adalah sebuah tempat mungil yang tak terjamah peta. Bahkan,
di situ kau merasa bakal selamat dari terkaman bah yang muntah andaikan Nuh datang lagi dan berdoa meminta
hujan lebat 40 hari 40 malam tanpa henti untuk menghukum seluruh penduduk kota
yang kini bergelimang noda.
“Entahlah... Aku sendiri tak punya alasan,
tapi perasaanku selalu berkata begitu—sedang menunggumu,” perempuan itu
menjawab setengah tak
acuh, lalu menuangkan wine pada gelas
di atas meja yang terletak di sisi ranjang.
“Aku tak yakin di pojok bumi begini masih ada
perasaan.... Oh, maaf, bukan begitu maksudku. Hemmm...
Oiya, bagaimana kau bisa menjadi
ikan dan tinggal di tempat paling pojok begini?”
“Untuk apa kau menanyakan itu?” perempuan itu
menatapmu dengan tajam, seperti sedang terusik. “Bukanlah sudah ribuan kali kau
singgah di sini, memandangiku dari luar kaca. Lalu mengentaskanku, membawaku
berenang dalam keheningan malam dan alpa terhadap segala di luar yang sedang
berlangsung? Bukankah kita sama-sama terkutuk dalam dukana warisan mahluk
pertama? Bukankah kau sendiri yang berkata bahwa melarikan diri dari sepi tidak
serta merta bisa
dikatakan sebagai kelakuan pengecut?”
“Justru
itu...” Kau membalas menatap perempuan jelmaan ikan dalam akuarium itu dengan
tatapan yang lain. Tapi
kau tak melanjutkan lagi perkataanmu.
“Sudahlah.
Cuaca begitu dingin. Minum dan nikmatilah...” Ia menyodorkan segelas wine kepadamu. “Mabuklah barang sedikit, agar
penglihatanmu pada dunia tak terlalu terang. Penglihatan yang terlalu terang hanya akan menambah
beban.”
Cairan
wine mulai mengalir dalam tubuhmu,
bercampur kabut gelap yang berkubang di jiwamu. Sedangkan di luar kamar yang
terletak di pojok bumi itu kota-kota telah luruh dalam kekuasaan langit. Bunyi lonceng dari menara tengah
kota meninabobokkan orang-orang. Dan bintang-bintang yang pecah perlahan mengalirkan cairan
birahi ke kepalamu.
“Menarilah...
Menarilah...” bisikmu.
Perempuan
jelmaan ikan dalam akuarium itu pun mulai menari. Ia menari di atas tubuhmu, menari di
atas rasa papa dan hampa, menari di bawah jaring nasib yang menjeratnya, menari
merayakan pemberontakan pada absurditas hidup. Dan malam yang senyap mulai
bergelora, bergemuruh dari ujung bumi tanpa hitungan itu.
Hidup
telah hidup dan menggeliat. Waktu gemetar dalam ruang yang gemetar. [3]
***
Dan pohon-pohon tinggi mengintip
diam-diam
Dengan cerdik melempar daun-daunnya
di kaca jendela. [4]
Jarum
jam dinding berhenti sejenak, menyembunyikan runcingnya di balik punggung
waktu, menghindari pemandangan dosa yang sedang berlangsung. Sedangkan musik
aneh dari balik bumi mulai menyala, berjelaga di sela-sela tarian perempuan
itu, menjadi pengiring setiap gerak-gerik tubuh, dua tubuh yang menyatu.
“Apakah
ini dosa pertama atau dosa terakhir?”
Tidak.
Tidak. Cinta
atau dukana bukankah sama saja, adalah kutukan lembut yang tiada akan berakhir
bagi anak manusia. Setidaknya
begitulah surga menakdirkan sejak masa purba.
***
Kau
memang telah memilihnya, mengambil satu dari sekian pilihan yang tampak
menggoda. Mula-mula kau mengintipnya dari ruang paling hitam dengan tangan
gemetar, dengan dada bergetar. Wajahmu panas ketika melihatnya, meski cuaca sedang begitu dingin.
“Kau
tampaknya sedang tersesat?” tiba-tiba ia berada di sampingmu.
“Aku
hanya suka melihat ikan, melihat geraknya yang perlahan dalam ruangan ini,” jawabmu dengan gugup.
“Kau
ingin merenangi malam bersama seekor dari ikan-ikan di dalam, atau denganku?”
Kau
mengangguk dengan polos sekaligus gugup. Dan ia tertawa santai melihat
kegugupanmu.
“Inilah dunia...” ucapnya sambil membuka pintu
kamar dengan jendela tunggal itu.
“Apakah
dunia ini memang sengaja dipisah dari dunia di luar sana?” kau mengikuti
langkahnya. Ketika ia berbalik menghadapmu, tiba-tiba ia sudah telanjang dan
memamerkan tubuhnya yang bening, payudaranya yang sesegar melon menantang kedua matamu. “Inilah
dunia...” ucapnya lagi.
Dan
sejak itu kau mulai tahu bahwa di ujung gang gelap di pojok bumi, ada dunia
yang terpisah dari dunia besar. Dunia yang memamerkan ikan-ikan dalam akuarium. Dunia yang ikan-ikan dalam akuarium
itu bisa menjelma jadi perempuan aduhai yang akan membawamu ke sebuah kamar
berjendela tunggal, dan perempuan itu selalu berkata: Inilah dunia... []
Denpasar, 2017
[1]
Pemberian Tahu, puisi Chairil Anwar.
[2]
Judul puisi Tia Setiadi.
[3]
Kepada M G, puisi WS. Rendra.
[4]
Malam Pertama, puisi Arthur Rimbaud.
0 Komentar