Oleh Kim Al Ghozali
Pada masa pra-agrikultur, manusia mungkin tak mengenal
istilah “pulang”, sesuatu yang berlalu sebagai sesuatu yang telah hilang. Tak
ada tradisi untuk kembali. Barangkali mereka juga tak benar-benar memiliki masa
lalu. Dan, dengan tak memiliki masa lalu itu, mereka menjadi begitu tangguh.
Tak ada tempat yang menyimpan kenangan. Tak ada tempat yang menyisakan
romantika untuk diratapi kembali. Tak ada ruang sebagai sesuatu yang lampau dan
membayang. Satu tempat tak lebih sebagai batu loncatan ke tempat yang lain.
Atau barangkali yang terjadi adalah sebaliknya, terlalu banyak tempat, terlalu
banyak masa lalu, tetapi jiwa petualang mereka enggan untuk berjalan kembali ke
belakang, ke sebuah ruang yang bernama “pulang”.
Manusia berpindah dari satu tempat ke lain tempat,
sesuai kondisi alam dan ketersediaan bahan pangan. Hidup berburu dan menjadi
makhluk nomaden. Apa yang dimilikinya, benda-benda dari alam yang mungkin
dianggapnya cukup berharga, sesekali ditinggalkan begitu saja bersamaan dengan
ditinggalkannya tempat itu. Tapi bukan sebagai penanda untuk tempat itu sendiri
dan kelak akan dicarinya dan ditempatinya lagi, melainkan sebagai
kenang-kenangan untuk yang datang ke tempat itu di hari kemudian. Untuk
ditafsirnya akan jejak siapakah kiranya.

Meskipun sudah sadar estetika sebagaimana manusia dari
kebudayaan Abris sous roche mereka
tetaplah manusia nomaden, manusia yang berpindah-pindah dan tak mengenal
pulang. Mereka tinggal di gua-gua untuk sementara waktu, untuk berlindung dari
ganasnya musim atau hewan liar yang sulit ditaklukkan dan punya potensi
membahayakan diri mereka. Mereka tetap pergi, bukan pulang. Tapi dari
persinggahan-persinggahan sementara, rumah hasil buatan alam yang dijadikan
tempat sementara itu kesadaran manusia pada estetika mulai terbentuk, secara
lebih praktis di kemudian waktu dikenal sebagai seni. Mulanya kesadaran itu
hadir untuk mengisi waktu senggang dari aktivitas berburu, saat istirahat di
gua-gua.
Dan, meskipun sudah sadar estetika—dalam bentuknya
yang paling sederhana dan fungsinya sebagai pengisi waktu semata—mereka masih
sebagaimana para pendahulunya sesama zaman batu yang belum sadar estetika,
yaitu belum sadar “tradisi berumah”. Mereka pergi lagi ke lain tempat,
selain meninggalkan kenang-kenangan estetik, juga meninggalkan sampah dapur
atau kjokkenmoddinger untuk yang
datang belakangan.
Tapi waktu tak membiarkan semuanya tetap. Kawanan
nomaden-pemburu dari era neolitikum, megalitikum, zaman logam, berevolusi
menjadi manusia agrikultur setelah melewati waktu ribuan tahun. Seiring
perjalanan waktu yang panjang itu pula mereka mulai mengenal peralatan yang
lebih baik dari sebelumnya untuk menunjang tradisi dan cara hidup yang lebih
baru, yaitu bertani. Prinsip manusia pun kemudian berubah secara fundamental.
Dari kaki-kaki petualang liar menjadi kaki-kaki jinak rumahan. Mereka berdiam
di rumah karena ada hal yang mengikat, yaitu ladang dan tumbuh-tumbuhan yang
telah mereka tanam. Ataupun kalau mereka pergi kini mengenal istilah “pulang”.
Sejauh bagaimanapun mereka beranjak, ada tempat yang selalu meminta untuk
ditengok kembali. Mereka terikat tempat yang dianggap sebagai masa lalu
sekaligus masa depan. Tidak hanya secara fisik, jiwa manusia agrikultur menjadi
berbeda dengan pendahulunya. Mereka terkekang dan mereka menjadi melankoli.
Mereka bergantung pada musim dan berharap kebaikan alam. Bukan menghindari atau
menantang alam, atau mencari alam yang lebih menguntungkan.
Ketika masyarakat agrikultur semakin mapan—atau
mungkin sampai puncaknya—sebagai ‘pencarian’ cara hidup manusia selama
berabad-abad, ternyata agrikultur bukanlah pencarian terakhir manusia terhadap
cara hidup itu sendiri. Usai melewati revolusi kognitif yang dimulai ribuan
tahun sebelumnya, sampailah manusia pada revolusi industri sebagai imbas dari
minat besar manusia pada sains yang terus mengalami perkembangan dan kemajuan
dari abad ke abad. Cara hidup pun ikut berubah. Lebih kompleks dan lebih
menggelisahkan ketimbang manusia pemburu yang cara hidupnya begitu sederhana
dan tingkat kegelisahannya hanya datang saat-saat mendengarkan auman harimau
atau melihat tanda-tanda badai besar akan terjadi.
Era agrikultur posisinya mulai berada di belakang.
Industri yang terus tumbuh semakin hari semakin pesat membutuhkan banyak
tenaga. Begitu banyak tenaga manusia yang diperlukan. Manusia berubah orientasi
dari sektor pertanian ke industri—dalam masa yang tak terlalu jauh juga ke
sektor jasa. Manusia menjual tenaga mereka, jasa mereka, menjadi buruh, menjadi
kuli, menjadi pekerja. Mereka berduyun-duyun dari kampung ke kota, dari satu
kota ke kota lainnya. Mereka terpanggil oleh “cara hidup” zamannya. Mereka
meninggalkan rumah, meninggalkan kampung halaman, meninggalkan pertanian
mereka, menjual kota-kota pertanian mereka ke mahkluk raksasa yang bernama
industri. Mereka mengembara ke wilayah-wilayah lain. Menetap dan tidak lagi
nomaden seperti leluhurnya di zaman megalitikum, karena ada satu mangsa yang
diburu dan tak ada habis-habisnya.
Hal ini berbeda berbeda dengan para nomaden-pemburu di
zaman batu yang mangsa-buruannya lebih bersifat dinamis. Di satu tempat kijang
bisa saja semakin mengecil populasinya atau tingkat bahaya suatu daerah begitu
tinggi, mereka harus mencari tempat lain yang lebih memungkinkan. Sedangkan
model perburuan masyarakat industri tidak lagi demikian. Mereka tidak lagi
memburu binatang yang melata dan berjalan di bumi, atau berenang di air dan
terbang di udara—yang seiringnya waktu bisa saja punah karena terus
dibunuh—melainkan memburu “cara hidup” itu sendiri.
Meskipun sama-sama pemburu, manusia zaman industri
sama sekali berbeda dengan manusia zaman batu. Tapi tak benar-benar berbeda
dengan manusia zaman agrikultur. Kota, desa, kampung halaman, rumah, yang sudah
mereka tinggalkan demi sebuah “panggilan” cara hidup, ternyata tak benar-benar
mereka tinggalkan. Ritme kerja para pemburu di zaman industri yang begitu
tinggi, kompleksitas hidup yang terus bertambah, perubahan-perubahan yang
bersifat artifisial dan fundamental terjadi hampir setiap saat membuat mereka
jengah karena watak mereka yang masih agrikultur, watak manusia rumahan yang
begitu ramah. Mereka seperti tercerabut dari akarnya, dari sifat fundamentalnya
manusia rumahan sebagaimana para leluhurnya yang masih murni berada di tradisi
agrikultur. Klimaksnya mereka mengalami alienasi dengan “cara hidup” yang
ditemukan oleh zamannya. Seperti para leluhurnya di zaman agrikultur murni,
mereka begitu melankoli dan romantik atas suatu tempat yang mereka sebut
“tempat pertama.” Mereka selalu merasa terpanggil untuk kembali ke sana, untuk
pulang, meski suara yang memanggilnya tak lebih berasal dari sesuatu yang
ilusif sebagai efek dari alienasi itu sendiri.
Mereka masih mewarisi gen manusia agrikultur, yang
selanjutnya tetap selalu merasa tak bersahabat dengan kehidupan yang
dijalaninya beserta cara hidup itu sendiri. Lalu timbul pemberontakan terhadap
realitas. Mereka membesar-besarkan masa lalu, kenangan, dan tempat pertama.
Lantas mereka melanjutkan tradisi pulang. Meski kepulangannya (sebagaimana
kepergiannya) hanya demi menjalani satu perasaan asing ke perasaan asing
lainnya dalam dirinya.
Mereka merasa diri mereka berada di persimpangan “cara
hidup” antara sebagai pemburu yang berpindah tempat dan menetap sementara di
satu tempat sebagaimana leluhurnya di era Batu, dengan sebagai orang rumah yang
selalu mengenal istilah pulang sebagaimana leluhurnya di era agrikultur. Mereka
pulang dan pergi, antara berburu dan kembali ke tempat pertama, meskipun pada
akhirnya dua aktivitas itu menjadi sesuatu yang sama-sama asing. (*)
0 Komentar