Oleh: Kim Al Ghozali
/1/
Tiga buku puisi karya tiga penyair Indonesia di Bali terbit hampir
bersamaan di tahun 2019.
Pertama, buku Amor Fati karya Wayan Jengki Sunarta. Kedua, buku Betinanya
Perempuan karya Nunung Noor El Niel. Dan ketiga, buku Autobiografi
Kejahatan karya Sthiraprana Duarsa.

“Tak
seorang penyair, atau seniman manapun, yang bisa punya arti lengkap tersendiri.
Arti pentingnya, apresiasinya adalah apresiasi dari hubungannya dengan penyair
yang terdahulu dan yang sekarang. Anda tidak bisa menilainya semata-mata ia
sendiri; anda harus menempatkannya dalam perbedaan dan perbandingan dengan
penyair yang terdahulu. Yang saya maksud adalah prinsip estetika, tidak hanya
sejarah atau kritik. Perlunya bahwa ia cocok, atau sesuai adalah masalah satu
sisi; apa yang terjadi ketika suatu karya seni tercipta adalah sesuatu yang
terjadi berkelanjutan pada semua karya seni sebelumnya.”
Sebuah
puisi dinilai unggul karena selain memenuhi standar dari aspek puisi, juga sebab menawarkan kepada kita
untuk kembali membuka lembaran-lembaran tradisi, menimbang-nimbang sejauh mana
konformitas berperan tapi sekaligus memberikan pembatas yang tegas dalam kekhasannya.
Dalam kata lain, ada daya tawar “ketegangan konvensi dan inovasi”. Dan dengan
kembali membicarakan tradisi, kita bisa mendudukkan sebuah karya pada
posisinya. Meskipun penilaian tradisi sendiri tidak menekankan pada penilaian
baik atau buruk, melainkan menimbang sebuah karya dan membuat
perbandingan-perbandingan sehingga akhirnya membuat kita bisa menarik
kesimpulan sudah sejauh mana karya itu beranjak dari sekian karya yang ada.
Atau sejauh mana kesusastraan hari ini dibandingkan sebelumnya. Mengalami kemajuankah, stagnasi, atau
malah dekaden.
Pandangan tradisi menjadi
layak dibicarakan dan relevan terutama ketika kita ingin tahu pencapaian
perpuisian kita di Bali, kemudian juga memberikan gambaran posisi perpuisian
Indonesia di Bali dalam peta sastra
nasional.
Apa kekhasan kita hari ini, otentisitas dan daya gugah estetis bagi keluarga besar kesusastraan
Indonesia?
Dalam
bedah buku Saron yang diadakan oleh
Balai Bahasa Bali, 29 April 2019, penyair sekaligus kritikus sastra Arif B. Prasetyo menilai perpuisian
Indonesia di Bali mengalami stagnasi. Dalam hal ini belum ada terobosan puitik,
eksperimen, ataupun pengembangan dan perlawanan terhadap bentuk-bentuk (puisi
penyair) pendahulunya. Ia menyarankan untuk mengambil risiko bahasa, terutama
di tangah karut-marut zaman (bahasa) medsos.
Saran ini selaras dengan TS. Eliot melalui pandangannya dari sudut tradisi, bahwa seorang penyair harus
mengikuti perkembangan zaman, sebab ia mesti selalu sadar meskipun seni tidak
pernah berubah, tapi bahan seni tidak pernah sama.
Kehadiran
tiga buku ini tentu saja menarik sebagai ‘fenomena kreatif’ selain karena
waktunya yang bersamaan dan dilahirkan oleh penyair yang berada dalam satu lingkup
geogafis—sebagai bagian dari ikatan tempat dan waktu, mungkin juga bisa kita jadikan respons tentang stagnasi perpuisian Indonesia di Bali apakah masih berlanjut dan kehadiran tiga
buku ini tak lebih sebagai perayaan atas keberlangsungan tradisi, tanpa perlu
bersusah payah memberi penegasan dalam tradisi itu sendiri, atau tidak.
Dalam
kesempatan sekarang saya tidak akan mengulas cukup jauh di esai pendek ini, misalnya
dengan memakai landasan pendekataan intertekstualitas untuk mengkaji
ketertaikan antara satu dengan yang lain, sekaligus mengonfirmasikan sejauh
mana pencapaian yang satu dibandingkan yang lain. Saya hanya akan membaca sekilas pada
tiga buku puisi ini. Meskipun mungkin
terkesan
simplifikatif, setidaknya ada kemungkinan membuka gambaran secara umum atas
ketiga karya terhadap posisinya dalam tradisi.
/2/
Judul buku puisi Wayan Jengki Sunarta
terbaru ini
mengingatkan
kita pada Nietzsche (1846-1900), filsuf besar Jerman yang terkenal
dengan “amor fati”—cinta akan nasib, sebagai konsep filsafat yang selalu
dikaitkan dengan “perulangan kekal” (eternal
reccurence)
atau penerimaan terhadap segala yang terjadi pada diri kita tanpa kekuasaan
kita untuk membendung
atau mengendalikannya. Dengan demikian seseorang akan terlindungi dari
penderitaannya.
Kesadaran
atas dirinya, bahwa seseorang
tak punya kehendak mutlak atas diri dan
luar
dirinya, akhirnya mesti menerima segala yang hadir (termasuk penderitaan) dengan sepenuh cinta dan gairah—bukan menyerah. Itulah amor fati. Sebuah afirmasi terhadap
ketidakpastian.
Walaupun tampak meminjam
pandangan filsafat Nietzsche terutama ketika menempatkan frasa latin “amor
fati” dalam puisi, puisi Wayang Jengki Sunarta tidak bertendensi berfilsafat. Kesan
pertama melihat buku ini mungkin sebagian dari kita akan menyangkanya sebagai
buku puisi-filsafat, atau setidaknya buku yang berisi puisi-puisi bermuatan
atau mengeksplorasi intisari kebijaksanaan filsafat.
Tapi
ternyata “amor fati” hanya titik kecil dalam semesta puisi di buku Amor Fati, sebagai judul untuk
mengukuhkan satu pandangan dari sekian pandangan yang dikukuhkan oleh penyairnya. Kita bisa menyimak dalam
larik-larik berikut: tapi, di sini, yang
tersisa hanya aku, / dua anjing, seekor kucing hitam, / dan tuhan yang muram //
aku mencintai takdirku / meski ladang-ladang kuyu / dan bunga-bunga layu / di
taman penuh debu”.
Penempatan
“mencintai
takdirku”
(amor fati) dalam puisi ini sebatas sebagai konfirmasi eksistensi diri di
antara eksistensi di sekelilingnya. Dari puisi ini pula
kita
bisa membaca belum
mencapai implikasi etis atas suatu pandangan filsafat. Jengki dalam banyak
puisinya, termasuk puisi berjudul “Amor Fati” yang ditempatkan sangat istimewa sebagai judul buku, belum
beranjak dari anasir-anasir romantik seperti puisi-puisinya terdahulu. Simak misal bait
pertama dari puisi “Amor
Fati”:
“kelam sihir matamu / dan sepasang alismu
/ kelepak sayap hantu / menujum kematianku”.
Memang,
sebagian kalangan memandang
puisi tidaklah jauh berjarak dengan filsafat.
Muhammad Al-Fayyadl dalam esainya “Puitisasi Pemikiran” menuliskan: Filsafat
dapat membantu puisi menemukan “bahasa perdana” (“primal language”,
“Ursprache”) yang hendak dituturkannya, meski puisi tak jarang gagal
menemukannya. Sebaliknya, puisi dapat membantu filsafat menemukan cara
mendekati “objek puitik” itu dengan pencerapan yang tak satu-sisi, tak linear:
puisi memungkinkan filsafat menemukan “bahasa(-bahasa)”-nya, bahasa-bahasa
filosofis yang “baru” untuk mengungkapkan secara baru dan memikirkan secara
baru suatu “das Ding”.” Bahkan Subagio Sastrowardoyo mengklaim bahwa
puisi sebagai “filsafat dalam penjelasan seni” (Ajib Rosidi; 68), tapi puisi Wayan Jengki Sunarta dalam
kumpulan ini belum beralih
ke puisi yang menghadirkan dialektika filosofis misalnya, terutama ketika memanfaatkan sudut pandang filosofi
(doktrin filsafat) seperti amor fati yang ia hadirkan. Ia lebih berkecenderungan sebagai puisi
impresionisme-romantik.
Buku Amor Fati yang merangkum enam puluh
puisi dengan masa penciptaan 2010-2018 ini mempunyai tema yang cukup beragam.
Penyairnya membagi enam puluh puisi tersebut menjadi tiga bagian: “Sepasang
Bayang”, “Waktu Merapuh”, dan “Bayang yang Hilang”. Masing-masing bagian berisi
dua puluh puisi.
Bagian
pertama berisi puisi-puisi dengan beraneka tema. Di puisi pembuka “Kutulis Puisi dengan Bahasa Sederhana”, kita
dapat menyimak misi kepenyairan Jengki, atau semacam proklamasi kredo dia berpuisi: “kutulis puisi dengan sederhana / agar mampu
merasuki jiwamu / bagai kebeningan telaga / di mana kau mampu bersekutu dengan
bayanganmu”. Lalu dilanjutkan dengan puisi-puisi bertema ketakbermaknaan dalam kefanaan seperti di “Fatamorgana”: “serupa
laron dungu / aku ingin sirna tanpa sisa / dalam jelita matamu / hamparan
fatamogana /”,
pemujaan terhadap alam pada “Serenade pantai” dan “Sungai”. Antusiasme romantik di “Puisi Untukmu”.
Bagian
kedua lebih menampakkan keseragaman tematik, berisi puisi-puisi dengan nada
menggugat meski dengan bisik-bisik dan, sekali lagi, gugatan lebih ke dalam bentuk
impresionistik. Protes-protesnya belum memiliki daya retoris sebagai strategi
dialektika dengan problematika di sekelilingnya. Di bagian kedua Jengki
memosisikan puisi sebagai suara lantang tapi dengan artikulasi yang
samar-samar, tentang penindasan yang terjadi terhadap “seorang buruh miskin ditembak kepalanya / ada petani mati bunuh diri /
banyak begundal licik jadi penguasa / dan sebagainya, dan sebagainya”,
dalam
puisi “Kucing
Biru”. Tentang keserakahan industri pariwisata dan pemilik modal yang mengekploitasi dan merusak alam,
dalam puisi “Berulangkali Ia Meyakinkan Aku”:
“pantai dan teluk akan dikubur / dengan
pasir dan kapur / namun aku lebih percaya / anak-anak kepiting dan hutan bakau
/ lebih penting dibela / ketimbang silau cahaya pariwisata.
Atau tentang
persoalan ekologi seperti masalah sampah dalam puisi “Obituari Sungai”, polusi
udara dalam puisi “Sepeda Tua” dan bencana lumpur dalam puisi “Lumpur”. Tidak
hanya itu yang diprotes dalam bagian ini, kaum fundamentalis agama turut
mendapat jatah di puisi
“Mereka Takut Patung”: “Patung
demi patung dihancurkan / seolah hama berbahaya / namun mereka lupa
membersihkan / kotoran dalam batinnya”.
Pada bagian
ketiga puisi-puisi lebih
ke keberagaman
tema, selayaknya bagian pertama. Aspek yang menonjol di puisi-puisi bagian ini lebih ke
spirit eksistensialisme diri si aku atau si penyair. Misal, puisi “Yanwa Tanarsu” yang
merupakan anagram dari nama penyairnya, Wayan Sunarta: “namun di lain waktu / kau melupakan empat saudaramu / bahkan kau
lupakan dirimu / bagai kerbau dungu / kau berkubang dalam lumpur / yang kau
gali sendiri”. Atau “bukankah usia
begitu fana / dan kita selalu berusaha merayakannya / demi membahagiakan
kehidupan” (dalam puisi “Merayakan
Usia”).
Maupun di puisi
“Berkas-Berkas Tidak Tuntas”. Sebagaimana buku ini dibuka dengan puisi tentang
puisi, pun ditutup oleh puisi tentang puisi; “Puisi dan Pagi”.
Namun sampai di sini saya
tak dapat menangkap maksud dari si penyair atas pengelompokan puisinya dalam
buku ini. Antara bagian pertama dan ketiga tak ada perbedaan secara signifikan,
terutama dari segi gaya atau strategi teks untuk menyampaikan tema yang diangkat.
Kalaupun berbeda tema, bukankah puisi ini memang merangkum keberagaman tema?
Dari
keberagaman tema ini pula “amor fati” yang mendapat ‘perlakuan’ istimewa yang sebenarnya tak lebih
sebagai satu bagian kecil itu, tentu tak memiliki korelasi langsung dengan
puisi-puisi yang lain. Dan meski memakai judul doktrin filsafat, puisi-puisi
dalam buku ini justru jauh dari spirit filsafat, atau seperti yang disebut
sebelumnya belum ada implikasi etis nilai-nilai filsafat terutama dengan perulangan
kekalnya
Nietzsche.
Saya
lebih setuju andaikan buku ini mengambil judul dari puisi yang lebih memiliki nilai
merangkum keberagaman atas puisi-puisi di dalam buku. Terutama puisi-puisi
protes sosial yang
cukup mencolok dan menjadi nilai plus di Amor
Fati. Atau kalau perlu yang diterbitkan sebagai buku adalah puisi-puisi protesnya.
Dengan begitu ada nilai tawar khas
Jengki
terhadap tradisi dalam kesusastraan itu sendiri, terutama di Bali, mengingat tema ini
memiliki relevansi dengan zamannya. Meski, tentu saja kita tidak bisa berharap
banyak dari segi pemberontakan bahasa, khususnya dengan bahasa penyair-penyair
pendahulunya.
/3/
Seperti halnya buku Amor Fati, judul
buku Betinanya Perempuan karya Nunung
Noor El Niel
cukup mengecoh. Kesan atas judul itu seolah memberikan citra bahwa buku tersebut membicarakan
atau menyuarakan semesta perempuan. Ihwal perempuan dalam perlawanannya
menghadapi stigma yang dibangun oleh pola pikir masyarakat patriarki. Terutama
pemberontakan terhadap objektivasi atas tubuh perempuan itu sendiri. Seperti
yang diingatkan oleh Helene Cixous, seorang feminis Prancis, “write your self, your body must be heard.” Perempuan
mesti menuliskan kisah
tentang dirinya, tentang kebahagiaan, hasrat, seksualitas, dan
pengalaman-pengalaman tubuhnya untuk melakukan perlawanan terhadap pandangan
(negatif) patriarki, khususya nilai-nilai yang dikonstruksi atas tubuh, dan sekaligus
menjadi penolakan terhadap citra ideal yang diinginkan dunia patriarki yang
melanggengkan objektivasi perempuan.
Ketika saya mewawancarai Nunung—sebagai salah satu
strategi penelitian pada aspek kreativitas dalam kajian psikologi sastra—dan mengajukan
beberapa pertanyaan terkait bukunya tentang motif penciptaan, Nunung memberikan
pernyataan bahwa puisi-puisi dalam Betinanya
Perempuan sebagai bagian dari suara perempuan untuk menggugat hal-hal yang
menimpa perempuan, terutama soal ketidakadilan gender. Atau singkatnya, ia
menulis dalam spirit feminisme.
Tapi
Nunung dalam buku ini tidak banyak
melakukan
hal itu meski membawa diksi ‘perempuan’ dan ‘betina’, dan menyatakan puisinya bagian dari suara perlawanan
perempuan atas ketakadilan. Atau setidaknya, meski
samar-samar ada tendensi ke
sana, ia cukup malu-malu. Misal: “maka
biarkan aku menjelma gerhana / menciptakan bayangan demi bayangan / di antara
lapisan-lapisan cahaya / tanpa harus terbakar atau lesap / hanya untuk sebuah
pernyataan / di antara napas gender yang binal / : di antara betinanya
perempuan.”
Ketidaktegasan
yang dihadirkan Nunung bukan hanya membawa pada kekaburan semantis melainkan,
juga tidak memosisikan teks untuk berdiri sebagai perlawanan. Si aku subjek tak
ingin terbakar atau hancur selayaknya konfrontasi terbuka demi sebuah nilai
yang ia pegang; melawan sistem sosial yang banyak merugikan perempuan.
Hal
ini cukup banyak juga dijumpai dalam puisi-puisi Nunung yang lain di buku ini.
Ia menghadirkan diksi tubuh, seperti puisi “Di Luar Tubuh”, “Tubuh yang
Terpetakan”, “Di Bibir Hawa”, “Pada Binar Mata”, dll. Tapi tak ada pernyataan
cukup frontal atau perlawanan terhadap reduksi tubuh oleh masyarakat patriarki
yang dipandang sebatas sebagai fungsi reproduksi itu.
Meski begitu ada satu
puisi
yang cukup ‘menjanjikan’ dalam buku ini, terutama relevansinya dengan suara
perempuan, “Logaritma Tubuh”, tapi—lagi-lagi—Nunung cukup malu-malu untuk
bersuara dengan lantang.
bagaimana
kau dapat mengukur
pinggang
dan buah dadaku
dari
panjangnya bayangan
hanya
dengan gerakan
dan
pantulan cahaya
padahal
kau tahu setiap kecepatan cahaya
di
dalam ruang hampa melebih kecepatan suara
di
mana setiap desah tak akan pernah sampai
puncak
orgasme tubuh yang mengejang
setelah
semua keseimbangan diruntuhkan
tapi
kau masih saja membilang
dengan
ukuran tak terhingga
hanya
untuk merumuskan kesaksian
jika
aku adalah perempuan
setelah
berdiri di atas ketelanjangan
dan
kau baru memahami sejarah tubuh
dari
tulang rusuk yang mengunyah buah terlarang
dalam
sebuah grafitasi halal dan haram
di
mana sebuah peradaban hanya dimulai
dengan
selembar daun sebagai
penutup
cahaya dan kegelapan
Puisi ini lebih tampak
dalam mempersoalkan tubuh perempuan terkait nilai-nilai yang dikonstruksi
patriarki. bagaimana kau dapat mengukur /
pinggang dan buah dadaku. Ada nada gugatan di sana. Ada penghadiran si kau, patriarki yang selalu menjadi
subjek dan perempuan
sebagai objek
yang tak
punya hak atas dirinya, atas tubuhnya untuk merdeka. Satu-satunya yang punya
legitimasi untuk memberikan penilaian (mengukur) adalah si subjek. Relasi yang
tidak setara ini mencoba digugat oleh Nunung terutama melalui dua larik pembuka
puisi di atas.
Tapi gugatan yang cukup
menjanjikan itu hanya
berjalan sampai di situ. Nunung mengaburkannya dengan menghadirkan larik dari panjangnya bayangan / hanya dengan
gerakan / dan pantulan cahaya, yang justru menjauhkan dari persoalan konkret yang coba ia angkat menjadi abstrak. Begitu juga dengan
bait-bait berikutnya: padahal kau tahu
setiap kecepatan cahaya / di dalam ruang hampa melebih kecepatan suara / di
mana setiap desah tak akan pernah sampai / puncak orgasme tubuh yang mengejang
/ setelah semua keseimbangan diruntuhkan. Alih-alih Nunung kemudian
menyinggung soal mitos penciptaan perempuan dari tulang rusuk (mitos ini lalu
diulang di puisi “Di Bibir Hawa”), yang menjadi legitimasi teologis masyarakat
patriarki untuk menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua atau eksistensi
perempuan selalu berada di bawah bayang-bayang laki-laki.
Meski punya tendensi untuk membicarakan ihwal
perempuan beserta persoalan-persoalannya, khususnya ketidakadilan gender; posisi
subordinat perempuan dalam dunia patriarkal, masih tampak ketidakterusterangan
Nunung dalam memosisikan diri sebagai pelawan itu. Bandingkan dengan
puisi-puisi, misal, karya Vivi Lestari—untuk menyebut penyair yang berada dalam
satu lingkup kreatif dengannya—dalam
buku Ovulasi yang Gagal (2017) yang
tidak segan-segan memosisikan sebagai suara perempuan, konsisten melakukan gugatan pada ketidakadilan dengan
menceritakan terus menerus pengalaman tubuh, selaras dengan ide tubuh Cixous, women’s writing their bodies. Atau
kumpulan puisi Kadek Sonia Piscayanti yang terbit dalam bahasa Inggris, Burning Hair (2017) yang intens dan
diniatkan untuk membicarakan atau menyuarakan perempuan.
Di sisi lain, dari segi
gramatika puisi-puisi Nunung dalam buku ini cukup ramah, dengan larik-larik
yang relatif panjang dan minim menggunakan teknik enjambemen menjadikan
puisinya bertumpu pada kalimat yang jelas. Sehingga dalam melakukan pemaknaan
kita tak perlu melakukan penyusunan frasa-frasa untuk menemukan struktur
semantis secara utuh terlebih dahulu selayaknya puisi-puisi yang bertumpu pada
frasa dengan maksud menghadirkan keliaran teks. Hal ini tentu membuat puisi-puisinya
menjadi cukup bening, sehingga pembaca menjadi lebih mudah memasuki
semesta puisinya karena adanya konvergensi makna sebagai akibat tak langsung
dari pertumpuan puisi pada kalimat. Meski, tentu saja itu bukan pertaruhan
utama puisi dan penentu kualitas.
/4/
Buku
Autobiografi Kejahatan—seperti dua
buku sebelumnya yang dibahas dalam esai ini— karya Sthiraprana Duarsa
(selanjutnya disebut Ary—panggilan akrabnya) memuat beragam tema, dan dari
keberagamannya ini cukup sulit dicari titik temunya antara satu dengan yang
lain. Tentu keberagaman tema dalam satu buku puisi bukanlah sebuah persoalan.
Semakin banyak tema dihadirkan, akan menawarkan suatu lanskap yang luas dengan aneka objek yang
bisa kita lihat di
dalamnya.
Meski tentu saja ada risiko lain yang mesti ditanggung oleh penyairnya, yaitu
absennya satu konsepsi terhadap wacana tertentu yang bisa kita baca secara utuh
atas satu buku—jika keberagaman itu tidak diikat satu benang merah dan
mengelaborasikan tema yang diusung sehingga menjadi kepaduan dan koherensi.
Namun meski begitu, buku merangkum
empat puluh puisi ini menghadirkan tema-tema yang tidak jauh dari kehidupan
kita sehari-hari. Sebagian membicarakan persoalan-persoalan sosial atau
peristiwa-peristiwa di sekitar yang tidak asing bagi kita. Dan hal-hal yang
tidak asing ini justru menjadi menarik ketika diangkat ke dalam puisi selama penyairnya
mampu membahasakannya dengan segar, tidak klise, dan mengambil perspektif tidak
umum sehingga,
meskipun tema yang diangkat adalah sesuatu yang sudah pembaca ketahui atau
sudah terasa sangat
akrab, tetap memberikan daya gugah bagi pembacanya dan memantik kesadaran baru.
Dan ini tantangan bagi penyair.
Sudah alamiyah bagi kita sesuatu
yang dijejalkan, dihidangkan, ditampakkan terus menerus membuat kita kehilangan
rasa kepekaan atas sesuatu itu. Misal,
tindakan kriminal yang setiap saat kita saksikan baik secara langsung atau
lewat media, kibulan politikus kepada rakyat, atau tentang kemiskinan sudah
terlalu biasa kita lihat dan dengar. Akhirnya kepekaan kita menjadi layu atas
persoalan-persoalan itu bahkan,
tak jarang membuat kita jatuh pada
apatisme.
Tapi di situlah tugas penyair, menjaga kepekaan terutama terhadap hal-hal yang terlalu biasa,
lalu mengangkat kembali yang terlalu biasa itu menjadi ‘seolah-olah barang
baru’.
Ary dalam beberapa puisi yang
mengamati persoalan sosial cukup mampu lepas dari jebakan klise, kelumrahan,
dan plastis. Puisi “Anatomi Kerusuhan” misalnya, ia membuka dengan bait: “Pada baris pertama / Kata-kata berhamburan
seperti sekawanan kelelawar / Yang menjeratkan lehernya di kawat berduri /
Sampai luka dan kulitnya terkelupas”. Penghadiran simile ini cukup ampuh melindungi teks puisi
dari banalitas, bahkan mampu membuat pembacanya melompat ke luar batas logika.
Lalu dilanjutkan dengan dengan baris: “Perlahan,
jalanan sunyi / menuntun hari ke dalam bencana /” rangkaian kata di sini tidak sebatas
menyalurkan informasi terhadap sebuah peristiwa seperti halnya jurnalistik,
tapi sekaligus menarik pembacanya ke dalam ruang-ruang kosong di antara
kata-kata itu lalu ikut merasakan yang terjadi tanpa sebuah pertimbangan logis dahulu.
Hal ini sebagaimana yang diinginkan puisi “Memahami Sajak”: “/Kata dengan kata yang dihubungkan menjadi
kalimat / Melompat ke luar batas logika / Tapi ketika engkau katakan, pahamilah
sajak dengan rasa / Seketika kusadari betapa kecilnya pikiran kita”.
Namun itu tak berlaku untuk beberapa puisinya yang lain. Ary sepertinya cukup tergoda untuk menginformasikan sesuatu yang kita tahu dengan cara yang sudah kita tahu. Dalam kata lain, ingin menyampaikan sesuatu “tanpa ribet”. Pada puisi “Betapa Malangnya Kaum Miskin” ia terjebak pada pernyataan-pernyataan yang sarat dengan verbalitas pesan, ungkapan banal yang sangat tidak diperlukan dalam puisi modern, yang justru mengkhianati puisi “Memahami Sajak”. Simak: “Engkau dicari / Para dermawan memberikanmu 5 kg beras / dan uang secukupnya / Engkau diabadikan dalam kisah-kisah mulia / Lalu koran-koran memuat para tokoh / Yang bibirnya tersenyum seperti malaikat // Engkau dicari para politikus / Yang memberimu Janji dan mimpi / Engkau diabadikan dalam perhatian yang pantas / Lalu koran-koran memuat / Bahwa mereka mencintaimu.”
Di
puisinya yang lain lagi kita tidak meragukan untuk mengatakan sebagai puisi yang berpretensi
berpetuah dan bernasihat, sehingga tampak didaktis. Sifat puisi semacam ini
tentu menjadi sesuatu yang tabu dalam puisi modern, meski mungkin oleh
penyairnya diniatkan sebagai aforisme (tapi belum berhasil). Misal puisi “Sajak Motivasi
Diri”: “Berfikirlah elang / Maka kau akan
menjadi elang / Dan anak ayam yang merasa menjadi elang / Memangsa anak-anak
ayam lainnya.” Atau pada puisi
“Sambutan Seminar”: Tentang ilmu
pengetahuan, semua telah diketahui / Bahwa ia adalah kebenaran yang hakiki /
Bahwa ia berjalan lurus, tak memihak siapa pun / Bahwa ia adalah cahaya masa
depan / Kecuali bagi si pemalas / Ia terlalu rumit”.
Tapi sekalipun membicarakan
peristiwa-peristiwa konkret, bahkan dengan nada verbal sekalipun, tak cukup
mudah untuk menemukan posisi si penyair. Bandingkan dengan puisi-puisi yang
menghadirkan tema serupa yang ditulis penyair lain (pendahulunya), misal Frans Nadjira dalam buku Curriculum Vitae (2007) yang memberi
pernyataan tegas posisi si aku penyairnya dalam puisi-puisinya atas
keberpihakannya. Pada puisi-puisi Autobiografi
Kejahatan si penyair lebih memosisikan diri menjadi semacam medium untuk
menampung beragam peristiwa yang ada di sekitar kita. Atau menyimak kejadian
demi kejadian kemudian melukiskannya ke dalam kata.
Di luar empat puluh puisi, saya
cukup terganggu dengan pengantar buku ini yang ditulis oleh Hartanto. Dalam
pengantarnya, Hartanto menggolongkan puisi-puisi di buku Autobiografi
Kejahatan sebagai
puisi
surealis. Padahal, puisi-puisi
dalam buku ini justru lebih bercorak
realis,
puisi yang menampilkan subjek/objek
sebagaimana adanya. Dalam kata lain menggunakan realitas logis; tidak hanya
pada tema tetapi juga pada gaya ungkapnya.
Ataupun kalau ada satu-dua larik
berdaya ungkap dengan anasir-anasir sureal, saya kira itu tidak cukup untuk
mengklasifisikannya sebagai puisi surealis, apalagi sebatas bertolok ukur pada
personifikasi seperti pernyataan Hartanto dalam pengantar ini untuk mendukung
pernyataannya atas puisi surealis. Personifikasi tidak selalu melampuai logika
sehingga sesuatu menjadi sureal. Personifikasi hanya mengandaikan sesuatu
menjadi yang lain, menjadi sesuatu yang berbeda sifatnya.
Begitu pun dari segi stilistika,
pada puisi-puisi Autobiografi Kejahatan
tidak ditemukan penyairnya melakukan penghadiran serentak aneka objek secara
dialektik, menciptakan efek dengan patahan-patahan sintaks untuk menghadirkan
lompatan-lompatan maknanya, atau penumpukan benda secara bersamaan dalam satu
ruang sehingga melahirkan
suasana yang melampaui batas logika real atau menjadi super real layaknya
puisi-puisi surealis.
/5/
Pembacaan
atas tiga buku ini tentu bukan pembacaan yang komprehensif dan menyeluruh, baik
dari segi tema maupun teks puisi. Tetapi lebih sebagai pengantar atas
kehadirannya di tengah situasi perpuisian Indonesia di Bali yang oleh Arif B. Prasetyo disebut berada dalam “situasi stagnasi”. Dengan demikian, untuk menguji
apakah kehadiran tiga buku ini mampu menggoyahkan stagnasi dan bahkan turut
ambil bagian dalam tradisi dengan
hadir sebagai kekhasannya atau malah melanggengkan stagnasi
itu sendiri, tentu butuh penelitian lebih jauh. Pun, apa yang disebut stagnasi
perpuisian Indonesia di Bali oleh Arif melalui penilaiannya atas buku Saron (2018) yang menampilkan puisi-puisi antar generasi (dari generasi terdahulu sampai kiwari)
itu mungkin juga perlu
diteliti lebih mendalam.
(*)
Daftar Pustaka
Al-Fayyadl, Muhammad. 2019. Puitisasi Pemikiran (Tentang “Puisi-Puisi Filsafat” R.H. Authonul
Muther).
Budiman, Kris. 2000. Feminis Laki-Laki dan Wacana Gender. Magelang: Yayasan Indonesia Tera.
Duarsa, Sthiraprana. 2019. Autobiografi Kejahatan. Denpasar: Balimangsi Foundation.
Eliot, TS. 1919. Tradisi
dan Bakat Individu.
Niel, Nunung Noor El. 2019. Betinanya Perempuan. Jakarta: Teras Budaya Jakarta.
Nietzsche, Friedrich. 2018. The Gay Science (Sains yang Mengasyikkan). Terjemahan oleh
Risalatul Hukmi. Yogyakarta: Antinomi.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Rodisi, Ajib. 2012. Puisi Indonesia Modern. Bandung: Pustaka Jaya.
Sunarta, Wayan Jengki. 2019. Amor Fati. Tabanan: Pustaka Ekspresi.
0 Komentar