Judul : Kekerasan Budaya Pasca 1965
Penulis : Wijaya Herlambang
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : Ketiga, Februari 2019
ISBN : 978-979-1260-43-5
Halaman : viii + 333 hlm
Runtuhnya rezim Orde Baru memberi ruang kepada kita untuk
menelisik lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa politik 1965. Terutama,
bagi para ahli untuk melakukan penelusuran dan pelacakan ulang, mendekonstruksi,
maupun mengangkat ke permukaan sesuatu yang selama ini tertutupi. Hal tersebut kemudian
ditandai dengan banyaknya muncul buku sejarah, sosial, kajian akademik, sastra,
film, teater, maupun diskusi dan forum yang mengangkat tema peristiwa kelam dan
terbesar dalam sejarah modern Indonesia itu.
Upaya semacam itu sudah tentu tidak mungkin bisa dilakukan
saat Orde Baru masih hidup dan berkuasa, di mana setiap arus informasi, fakta,
dan kehendak membicarakan secara jujur tentang peristiwa itu dikekang
sedemikian rupa. Sehingga yang terjadi adalah informasi tunggal, narasi
tunggal, dan kebenaran tunggal, yakni versi pemerintah. Dan sudah pasti ada
segudang fakta yang disembunyikan.
Jika banyak akademisi menelisik dan riset lebih terpusat
ke seputar peristiwa; baik motif, dalang, detik-detik
malam 30 September, maupun tentang pembantaian massal orang-orang komunis
Indonesia dan simpatisannya pasca pembunuhan tujuh jenderal yang dianggap
sebagai bagian dari kudeta itu, Wijaya Herlambang melakukan upaya berbeda dalam
melihat persoalan tragedi 30 September 1965. Melalui bukunya Kekerasan Budaya Pasca 1965, lelaki yang
menyelesaikan studinya di University of Queensland dengan disertasi “Cultural Violence: Its Practice and
Challenge in Indonesia” (2011) ini lebih banyak menekankan penelitian
terhadap produk budaya yang berkait-kelindan dengan peristiwa yang menjadi
akhir kekuasaan Sukarno itu, yaitu tentang bagaimana
Orde Baru membangun landasan ideologi Anti-Komunisme melalui sastra dan film.
Anti-Komunisme, bahkan kekerasan terhadap orang komunis dan selalu dijadikan
musuh imajiner bersama tidak hadir serta merta begitu saja, atau sebatas hasil
dari kampanye politik. Ada lantasan budaya yang melegitimasi praktik-praktik
kekerasan fisik yang terjadi pasca 1965 yang disponsori negara. Yaitu lewat produk
budaya, dalam hal ini adalah sastra dan film. Sehingga apa yang menimpa para
korban seolah dianggap sudah seharusnya. Inilah logika yang dibangun oleh rezim
Orde Baru, melalui agresi kebudayaan untuk melawan komunisme. Dalam kata lain telah
terjadi “kekerasa budaya”, yang secara definitif menurut Johan Guntung dalam Culture Violence (1996) seperti yang dikutip Wijaya Herlambang
(Hal. 35) adalah: “Aspek-aspek kebudayaan, bidang-bidang simbolis dari
keberadaan kita—seperti agama dan ideologi, bahasa dan seni, pengetahuan
empiris dan pengetahuan formal (logika, matematika)—yang dapat digunakan untuk
membenarkan atau melegitimasi kekerasan langsung dan struktural.”
Penemuan Wijaya Herlambang dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965 tentu
menarik sekaligus membuka kesadaran baru kepada kita, bahwa Anti-Komunisme sekaligus
praktik-praktik kekerasan langsung dan struktural terhadapnya tidak dilandasi oleh
narasi politik semata. Tetapi lebih jauh dari itu, melalui sesuatu yang sangat
halus dan samar serta masuk ke aspek-aspek kehidupan dengan subtil, yaitu
produk budaya melalui agen-agen kebudayaan Orde Baru. Inilah kemudian yang
dinamakan sebagai “kekerasan budaya/kekerasan tak langsung” yang imbasnya tentu
lebih besar ketimbang kekerasan langsung. Sebab, kekerasan tak langsung sebagai
kerangka berpikir sekaligus legitimasi memicu terjadinya kekerasan langsung
secara terus menerus.
Meskipun banyak produk kebudayaan
yang dihasilkan rezim Orde Baru dalam mempromosikan budaya Anti-Komunisme, seperti
ideologi negara, museum, monumen, diaroma, folklor, lembaga agama, buku-buku
pegangan siswa, dan materi penalaran, Wijaya Herlambang dalam buku ini lebih
menyoroti produk budaya berupa film dan sastra, terutama Film Penumpasan Pengkhianatan G30 S PKI (1984) yang disutradarai Arifin C. Noer
sebagai media propaganda utama pemerintah Orde Baru—yang rutin dipropagandakan
dengan ditayangkannya di televisi nasional setiap tahun sepanjang 1984-1998—dan
novel yang diadaptasi Arswendo Atmowiloto dari film tersebut. Turut
dibicarakan tentang
sepak terjang kelompok-kelompok kebudayaan kontemporer, terutama para penggiat
sastra yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan dan derivat atau simpatisannya, yang
telah turut melanggengkan budaya Anti-Komunisme dan secara tidak langsung
juga berkontribusi memberikan landasan budaya atas kekerasan fisik yang telah
terjadi atau sedang terjadi.

Barat (Amerika Serikat and the gank) sebagaimana kita tahu,
punya agenda khusus di Indonesia, yaitu ingin membangun dominasi kapitalisme-nya demi
mengeruk sumber daya alam dan keuntungan lainnya. Namun, hal itu selalu gagal
karena komitmen politik dan kecondongannya Sukarno pada paham kiri, terutama
komunisme, sebagai penentang utama kapitalisme. Untuk memuluskan agendanya, Barat
mesti meruntuhkan kekuasaan Sukarno dan memusnahkan komunisme yang menjadi musuh imperialisme dan
kapitalisme-nya. Maka, selain melakukan pelbagai upaya melalui strategi politik
dan menemukan momentum pada tahun 1965, Barat melalui CIA-nya juga melakukan
kampanye anti-komunisme lewat kebudayaan, sekaligus untuk membentuk kebudayaan
nasional yang berorientasi liberal.
Sebagaimana hasil riset Wijaya
Herlambang, selain kerja sama dengan tokoh-tokoh PSI (Partai Sosialis
Indonesia) dengan menyediakan beasiswa untuk dididik sesuai doktrin ekonomi AS,
upaya juga dilakukan oleh Amerika Serikat dengan mendekati beberapa intelektual-sastrawan
saat itu, seperti Mochtar Lubis, Arif Budiman, Wiratmo Soekito,Taufik Ismail,
sampai yang termuda: Goenawan Muhammad. Di kemudian hari mereka menjadi
penggagas sekaligus penanda-tangan “Manifes Kebudayaan”, sebuah konsep
kebudayaan mengusung humanisme universal yang selalu mengasosiasikan diri
dengan konsep “l’art pour l’art”
(seni untuk seni) sebagai tandingan terhadap seni yang politis. Dan di tahun
yang tidak terlalu jauh mereka juga mendirikan majalah Horison, majalah yang selanjutnya
mempunyai peran penting membentuk orientasi budaya, terutama sastra, dengan
gaya sesuai keinginan barat.
Bahkan Wijaya Herlambang menemukan
fakta adanya hubungan khusus antara pemimpin penting CCF, Kats dengan Goenawan
Muhamad. Keduanya menjadi rekan kerja, meski kemudian Kats lebih banyak
mendikte Goenawan Muhamad agar memenuhi keinginannya. Misal, permintaan
penerjemahan buku-buku produk Barat yang dianggap memiliki gagasan yang
menjauhkan publik dari paham komunisme dengan imbalan uang untuk Goenawan
Muhamad sebesar $50 di awal kerja.
Begitu pun kelompok kebudayaan
populer lainnya yang berupaya membendung dan mendekonstruksi Anti-Komunisme turut disinggung
oleh Wijaya Herlambang di buku ini. Di antaranya adalah JAKER (Jaringan Kerja
Kesenian Rakyat) yang dimotori oleh penyair Wiji Thukul, dan kemudian KSI
(Komunitas Sastra Indonesia) yang melahirkan majalah boemipoetra, serta para aktivis kebudayaan dan politik sepanjang
era Orde Baru. Kelompok inilah yang
punya upaya perlawanan dan destabilisasi hegemoni Orde Baru dengan ideologi Anti-Komunisnya.
Di bagian akhir buku, penulis secara
khusus mendedah novel September karya
Noorca M. Massardi. Menurut Wijaya Herlambang, novel tersebut yang paling
relevan dalam kaitannya dengan diskusi tentang bagaimana sastra memiliki andil
dalam proses dekonstruksi versi resmi peristiwa 1965 dan ideologi Anti-Komunis warisan Orde Baru.
Isinya yang fundamental menjadi narasi alternatif sekaligus perlawanan terhadap
kekerasan budaya terutama lewat sastra dan film yang selalu dikampayekan Orde
Baru untuk melegitimasi kekerasan fisik, yang sampai saat ini masih hidup,
sekalipun Orde Baru sendiri telah runtuh dua puluh satu tahun silam.
Tentu, buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 ini layak dibaca oleh siapa pun, karena
isinya akan membawa pada kesadaran (atau minimal perspektif) baru, bahwa budaya
yang kita kenal—mungkin sebagian dari kita ikut menjalaninya—adalah tidak serta
merta lahir begitu saja. Tetapi mempunyai riwayat panjang dengan
pergelutan-pergelutan politik yang melingkupinya; bahkan di baliknya banyak
manusia yang dirugikan dan dikorbankan. (*)
Penulis:
Kim Al Ghozali. Terbit di Lentera Bayuangga Edisi 4/November 2019
0 Komentar