Di
mana-mana tebalnya langit selalu sama, begitu juga jaraknya dengan bumi, baik dengan bumi bagian
selatan maupun bagian utara. Yang menjadi pembeda, tentu adalah bagaimana kita memandangi,
memosisikan, maupun merenungi langit itu.
Apakah ia hanya sebagai kanvas biru yang mahaluas,
sebagai atap untuk berlindung dari meteor yang jatuh, sebagai batas penglihatan
mata kita agar tidak memandangi hal-hal aneh di luar bumi, atau mungkin juga
langit sebagai padang luas di mana Tuhan menggembalakan peri-perinya. Peri-peri
dengan jumlah yang ribuan mengepakkan sayapnya dan mengawasi keberadaan manusia
di bumi. Mungkin juga ada beberapa peri yang tersesat ke bumi karena melewati batas teritori,
lalu menjelma jadi kupu-kupu
atau burung perinjak, hinggap di pekarangan yang penuh bunga, dikejar-kejar
anak-anak kampung kemudian ditangkapnya, atau mereka tersesat ke kota yang
kumuh, pesing, dan bising.
Aku
yakin langit yang mahaluas itu mempunyai ujung dan di ujung sana kerajaan Tuhan
berdiri megah dengan altar dilapisi permadani emas dan mengalir sungai-sungai
anggur, sungai-sungai madu, juga taman-hutan di mana pohon-pohonnya berbuah cahaya.
![]() |
Sumber Lukisan: https://damaiart.wordpress.com/2013/06/24/kambing-surga-th-2013/ |
Hal yang sering kulakukan
ketika berada di padang rumput adalah berlama-lama memandangi langit, lama
sekali. Sebab aku merasa, aku sedang memandangi Tuhan di nun sana, dan Tuhan
membalas memandangi sambil sesekali mengerdipkan matanya kepadaku. Aku suka
berlama-lama tiduran di bawah pohon besar dipadang rumput, bercakap-cakap dengan
angin semilir, dan menyenandungkan syair
untuk kambing-kambingku.
Pada
hari-hari berikutnya
ketika musim kemarau semakin panjang dan rumput-rumput semakin kering, aku
masih suka memandangi langit yang berkelir itu. Namun rasa suntuk tak bisa
kuhindari, maka setiap pergi ke padang rumput selalu kubawa bekal berupa buku.
Buku itu, jika tidak terlalu tebal biasanya aku tuntaskan dalam sehari. Buku
yang aku baca pun beragam. Ada
sejarah, sastra, sosial, biografi, filsafat, maupun teologi.
Pernah
suatu ketika pada pertengahan musim dingin, di mana rumput-rumput mencapai
puncak kehijauannya dan pohon-pohon semakin berat membawa beban daun-daun, aku
tertidur di bawah pohon besar saat menggembala kambing-kambingku. Rasanya
nikmat sekali, angin memijat-mijat punggungku dan cahaya matahari yang bersinar
lewat celah daun-daun memanjakan tubuhku dengan cara menghangatkannya. Dalam
sekilas aku disergap sebuah mimpi aneh, segerombol orang mendatangiku, berjubah
cahaya dan bertongkat yang terbuat dari bambu. Mereka mengelilingiku, namun tidak berkata-kata.
Kemudian mereka menyentuh
tubuhku, aku merasakan dingin yang begitu hebat. Kulitku seolah ditusuk-tusuk
oleh jarum yang terbuat dari bongkahan es batu. Hanya beberapa detik kejadian
dalam mimpi itu, aku tersadar dan masih berada di posisi semula, di bawah pohon
besar, di antara batu-batu besar dan sebuah buku yang kubawa. Aku tersentak
ketika kupandangi sekelilingku kambing-kambingku lenyap dari pandangan. Tak ada
angin, tak ada suara berisik burung-burung. Hanya kabut yang tampak di kejauhan,
di bawah gunung-gunung yang menjulang.
Aku
tak mendengar rengekan ataupun melihat jejak
kambing-kambingku. Sirna. Tak ada saksi, bahkan langit yang seperti cermin bumi
itu pun membisu. Dengan
perasaan linglung aku bangkit dan
berjalan mencari kambing-kambingku. Kulihat di lereng-lereng di sekitar, tapi tak ada. Kutelusuri dan terus kucari di
jalanan setapak di antara semak dan pohonan besar juga tak ada.
Hingga akhirnya aku sampai ke
sebuah sungai yang curam di mana lereng-lerengnya dipenuhi pohon-pohon melata
dan hampir menutupi sebagian sungai. Namun
bukan tempat asing bagiku, ketika masih kecil sungai itu biasa aku
kunjungi pada sore hari bersama beberapa teman sepermainan. Kami biasa
memancing ikan di
tempat itu, walaupun sebelumnya kami
seringkali dilarang oleh orang-orang tua untuk pergi ke sana karena orang-orang
tua di kampung kami meyakini sungai tersebut adalah tempat para setan
berkumpul.
Matahari
semakin matang dan sinarnya mulai tampak redup, sedangkan kambing-kambingku
belum ada tanda-tanda, pergi atau dicuri orang. Tapi aku tidak yakin jika
kambing-kambing itu kabur begitu saja. Sudah tiga tahun aku menggembala kambing dan tidak
sekalipun kambing-kambingku
kabur dalam waktu yang singkat dan bersama-sama. Aku juga tidak yakin jika kambing-kambingku
dicuri orang. Di kampung ini banyak sekali orang memelihara kambing dan belum
pernah ada riwayat pencurian kambing selama sepuluh
tahun terakhir.
Bumi
mulai malam. Aku
terus berjalan di pinggir sungai mengikuti aliran air, di bawah pohon-pohon dengan
akar-akarnya yang melilit batu-batu cadas yang mesti kulintasi. Gemerincik air seperti
nada lirih, terkadang membuat bulu kudukku merinding. Gelap membuat kakiku
terbata-bata menyusuri
lereng-lereng sungai itu. Akhirnya
aku sampai di sebuah campuhan sungai di mana tempatnya sangat rindang, tak ada pohon dan semak
liar mengelilingi sehingga bulan yang muncul di malam itu mampu menerangi
sungai. Di campuhan itu
kudapati arus sungai tak lagi deras dan airnya sangat bening bak kaca jendela
sebuah hotel sehingga segala yang ada di dasar sungai menjadi kelihatan. Dan
bulan yang bulatnya hampir sempurna, memantul di permukaan air—seperti perawan
yang sedang bersolek.
Namun tiba-tiba aku
tersentak, mataku terbelalak, aku melihat hutan di dalam air yang bening itu. Aku melihat pohon-pohon aneh
dengan ranting yang menjalar dan penuh bunga warna-warni. Aku melihat aneka
buah segar bergelantungan. Aku melihat sungai (di dalam sungai itu) dengan
aliran air yang tenang dan bening. Aku
melihat padang rumput yang luas. Lalu tiba-tiba mataku menangkap kambing-kambingku
berlarian di sana. Mereka tampak lebih gemuk, sangat bersih dan putih sekali bulu-bulunya, juga kelihatan halus bagaikan sutra. Namun
aku masih mengenali mereka,
masih mengingat ciri-ciri setiap kambingku.
Ya, itu kambing-kambingku! Tapi mengapa
mereka ada di sana? Di dalam airkah itu atau di langit dan tercermin di sungai
yang bening ini?
Aku
mendongak ke langit berbulan itu,
dari ujung ke ujung. Surgakah di sana? Namun
hampa, tak ada apa-apa. Atau mungkin hanya aku yang sedang
bermimpi?
Tidak. Aku tidak sedang
bermimpi. Aku melihat dengan mata sadar, kambing-kambingku di sana, di padang
rumput yang indah itu. Namun pertanyaan itu mendesis lagi dalam diriku: Surgakah
itu?
Bukan! Jawabku sendiri.
Kambing-kambingku belum mati, tentu ia tidak mungkin bisa masuk surga karena
surga hanya bisa dijangkau setelah kematian. Kambing-kambingku masih ada di
sekitar sini, di sekitar aliran sungai ini. Ia hanya tersesat dan tak tahu
jalan pulang. Kakinya masih berpijak di bumi, di antara rumput dan
kerikil-kerikil basah. Bukan di atas sana di antara peri-peri di padang abadi.
Setelah
aku mendongak ke langit dan termenung sejenak, sejurus kemudian kukembalikan
penglihatanku ke bawah, ke air sungai itu. Aneh, pemandangan indah yang seolah
miniatur surga di dalam etalase dan kulihat sekilas tadi dan kutinggalkan
sebentar mendongak ke atas ternyata sudah tak ada lagi. Berganti sungai yang
dangkal dengan airnya yang cukup keruh—seperti air yang kujumpai di hulu—serta
kulihat batu di sana-sini. Bulan yang bundarnya hampir sempurna tak bercermin
lagi.
Ke
manakah larinya bayangan itu? Ke manakah perginya penghilatan itu? Atau mungkin
tirai ajaib yang melekat di mataku, yang tadi terbuka kini tertutup lagi. Aku berdiam
sejenak sebelum akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan, mencari
kambing-kambingku.
Aku
menyeberangi sungai. Aku menaiki
sebuah lereng rendah. Di
balik lereng itu menghampar persawahan. Sawah-sawah kosong sehabis panen
jagung. Hanya rumput-rumput kecil yang memenuhi tanahnya. Suara jangkrik
seperti menyambutku dengan melagukan himne dewa-dewi penjaga tanaman. Kutaksir waktu sudah sekitar jam sembilan malam. Mulai
terasa berat rasanya kakiku karena kelelahan. Aku melangkah menuju pematang, kemudian
duduk di situ, mengistirahatkan badan. Kurogoh tasku—tas yang kubuat sendiri
dari kain—mencari rokok dan air botol yang kutaruh bersama buku. Setelah itu
aku tak ingat lagi apakah sampai selesai merokok atau aku telah tertidur
sebelum rokokku habis.
Hingga akhirnya kudapati
diriku di sisi pematang setelah tersadar dari lelap dan matahari mulai
meninggi. Ya, sudah pagi lagi. Apakah
aku pingsan atau hanya tertidur semalam? Rasanya
itu tak terlalu penting,
karena ada hal lebih penting yang ‘kan kuceritakan tentang mimpiku semalam:
Aku
merasa berada
di ruang hampa. Aku seperti menginjak awan musim kemarau. Putih di sekelilingku
dan sunyi sekali. Aku merasa takut namun aku tak bisa berteriak. Hanya mampu
berkata-kata pelan, ya pelan sekali, “Di mana aku di sini?” Aku kira aku sudah mati
dan berada di sebuah ruang—mungkin semacam ruang karantina—batas antara
kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. Namun
kenapa di sini tak ada malaikat? pikirku
saat dalam mimpi itu. Jika aku memang sudah mati, apa penyebab kematianku?
Terjatuh ke jurangkah saat mencari kambing-kambingku atau dijahati orang di
kegelapan hutan? Dan dalam mimpi aku melihat kabut tebal di kejauhan. Selang
beberapa detik kabut itu sirna, lalu muncul gerombolan anak kecil yang
berpakaian serbaputih dan bersayap di punggungnya. Mereka berlarian layaknya
anak-anak kampung bermain petak umpet. Satu persatu mendekatiku. Setelah
semuanya berada di depanku, mereka serentak berkata:
“Ayah, kami anak-anakmu sudah
damai di sini. Ayah tak perlu lagi mencari
kami, karena yang demikian itu hanya
akan menjadi perbuatansia-sia. Kami bisa melihat ayah di bawah sana, kapan saja kami mau. Jika sewaktu-waktu ayah
merindukan kami, carilah kami di surga!” (*)
Denpasar, 2015
*Pertama kali tayang di Bali Pos.
0 Komentar