Peran Sastra dalam Perjalanan Menuju Kemerdekaan


Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.
(Krawang-Bekasi, Puisi Chairil Anwar)

Perjuangan menuju kemerdekaan sebuah bangsa-negara adalah jalan panjang dan terjal, baik dalam pengertian konotatif maupun denotatif. Di satu sisi perjuangan menuju kemerdekaan mesti melalui serangkaian pergerakan fisik menuju medan laga, mencurahkan segala tenaga untuk bertempur melawan musuh sampai tetes darah penghabisan. Di sisi lain, perjuangan melalui pergelutan dan pergulatan pikiran, kecerdasan, dan intelektualitas. Hal itu dimanifestasikan lewat jalur politik maupun kesenian, terutama sastra.

Negara-negara kolonial di Asia dan Afrika atau di manapun selalu memiliki kisah romantisme perjuangan dua dimensional ini. Mereka memiliki ikon pahlawan yang bergerak di jalur fisik maupun pahlawan yang bergerak lewat intelektualitas. 

Dua dimensional jalur perjuangan sudah pasti akan saling melengkapi. Sama-sama penting dalam mengisi perjalanan menuju kemerdekaan. Perjuangan fisik semata tentu kemerdekaan tidak akan tercapai seutuhnya. Begitu juga sebaliknya.

Hal inilah yang kemudian bisa kita baca mengapa bangsa kita mesti menunggu beratus tahun untuk menjadi negara-bangsa yang merdeka, menjadi bangsa yang menentukan nasibnya sendiri, meski perlawanan terhadap kolonialisme Eropa pada setiap periode selalu muncul dan selalu kalah. Dalam pengertian sederhana kekalahan demi kekalahan itu tak lain karena semata-mata hanya menggerakkan perlawanan fisik. Tidak lebih. Perlawanan menjadi timpang dan tidak seimbang. Perang Jawa yang dahsyat dan berlangsung selama lima tahun, toh pada akhirnya kalah bukan karena kedahsyatan perlawanan fisik pasukan Belanda. Pangeran Diponegoro menyerah atau kalah karena siasat politik. Begitu juga perang-perang tradisional lainnya dalam melawan kolonialisme. 

Sedangkan negara-negara Eropa melakukan ekspansi kekuasaannya tidak semata mengandalkan fisik atau kekuatan militer, tetapi disertai ilmu pengetahun; intelektualitas. Mereka datang bukan dengan tangan kosong, apalagi pikiran kosong. Mereka berbekal-menguasai ilmu pengetahuan, sistem pemerintahan, ideologi dan politik secara modern. Sedangkan masyarakat di mana mereka menjejakkan kaki kekuasaannya masih sebatas melakukan perlawanan secara tradisional dan sederhana. Terutama perlawanan fisik.

Tanpa hendak mengabaikan peran perlawanan fisik, tapi memang itulah fakta yang terjadi. Perlawanan fisik yang telah berlangsung begitu lama menjadi tak memiliki makna besar untuk menggoyahkan kolonialisme, sampai diimbangi dengan perlawanan lewat dimensi yang berbeda. 

Dalam konteks menuju kemerdekaan bangsa kita, pertama sekali, hal itu ditandai dengan munculnya novel Max Havelaar yang dikarang oleh Eduard Douwes Dekker—lebih dikenal dengan nama Multatuli. Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1860 di Belanda. Tiga puluh tahun jaraknya setelah Perang Jawa. 

Multatuli adalah orang Belanda yang datang ke pulau Jawa pada tahun 1839. Ia menjadi pegawai negeri di kantor Keuangan Batavia selama tiga tahun. Lalu pindah menjadi kontrolir di Sumatra Barat, kemudian menjadi asisten residen Purwakarta, menjadi sekretaris Residen Manado, dan asisten Residen Lebak. Selama sekian tahun berada di Hindia Belanda inilah Multatuli menyaksikan sendiri kondisi masyarakat jajahan yang begitu memprihatinkan, akibat langsung dari kebijakan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa yang pertama kali peraturan ini dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Bosch pada tahun 1830.  


Praktik dari kebijakan ini sangat eksploitatif dan melahirkan kesengsaraan panjang penduduk pribumi. Kemiskinan, kebodohan, kesengsaraan dan kematian karena kelaparan dan keletihan kerja, terutama di Lebak tempat terakhir Multatuli bekerja, membuat ia tergerak hatinya. Sehingga lahirlah novel yang oleh Pramoedya Ananta Toer disebut sebagai “buku yang membunuh kolonialisme”. Novel ini menggambarkan kondisi masyarakat yang berada di bawah tekanan penjajahan—sekaligus sebagai kritik terhadap kebijakan tanam paksa pemerintah Hindia Belanda. 


Saat pertama kali diterbitkan novel ini memang tak memiliki gaung di Hindia Belanda, tempat latar novel itu berada. Bahkan tak memiliki arti konkret. Tetapi dampaknya berada di Eropa, terutama Belanda. Berkat novel ini banyak kaum terpelajar di Eropa menjadi terbuka matanya tentang kondisi masyarakat Hindia Belanda akibat kebijakan pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda mendapatkan banyak kritik dan kecaman terutama dari kaum liberal. Dan pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda menghapus kebijakan tanam paksa dan selanjutnya mengambil kebijakan politik etis atau politik balas budi.

Politik etis pertama kali disarankan oleh seorang ahli hukum Belanda, Van Deventer, melalui tulisan-tulisan kritiknya terhadap kebijakan tanam paksa. Dalam praktik dan moralitas politik etis, pemerintah Hindia Belanda mesti memerhatikan nasib dan memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan penduduk pribumi.    

Pengaruh pertama politik etis yaitu dalam bidang pengajaran dan pendidikan. Balas budi pemerintah Hindia Belanda ini diwujudkan dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk bumi putera terutama kaum priyayi. Dan dari sini lahirlah bumi putera terpelajar yang kemudian mempunyai peranan penting terhadap jalannya sejarah menuju kemerdekaan. 

Lahirnya kaum terpelajar bumi putera secara langsung atau tidak, merupakan efek dari kebijakan politik etis dan hulunya bisa dirunut ke lahirnya novel Max Haveelar. Kaum pelajar bumi putera yang mendapatkan pendidikan dari Belanda, dari bangsa yang menjajahnya, menjadi golongan penting yang melawan Belanda sendiri. Sehingga perjuangan bangsa yang tertintas untuk lepas dari cengkreman kolonialisme menjadi tidak didominasi perjuangan fisik lagi. 

Angkatan awal dari golongan bumi putera terpelajar inilah yang pergerakan dan perjuangannya menjadi “persiapan nasional”, pembuka gerbang nasionalisme. Lalu secara kesinambungan digantikan oleh golongan terpelajar setelahnya, dan puncaknya ketika kesadaran kebangsaan mereka semakin matang mengalami apa yang kita kenal sebagai kebangkitan nasional. 

Hanya sampai di situ? Tentu tidak. Pergulatan dan pergelutan pemikiran tidak hanya terhadap musuh, tetapi juga terhadap diri mereka sendiri. Pergulatan ke dalam sesuatu yang niscaya dalam mencari identitas diri sebagai bangsa, dan sia-sia membangun nation tanpa didahului konsep nasionalisme yang jelas. Dari sinilah mereka kemudian menemukan kerangka nasionalisme secara konkret dan utuh yaitu lewat Sumpah Pemuda.

Sumpah Pemuda yang kelahirannya tidak lepas dari peran penyair Muhammad Yamin dan diikuti para pemuda terpelajar dari beragam suku bangsa Nusantara ini memiliki makna yang sangat penting, bahkan sebagai titik penentu dalam perjalanan menuju kemerdekaan sekaligus pembentukan nation. Teks Sumpah Pemuda yang di dalamnya mengandung konsep persatuan tak lain adalah teks puisi seperti yang diakui penyair Sutardji Calzoum Bachri; dengan imajinasinya, rima, irama dan repetisinya. Dan realitas ini selalu mengingatkan kita pada ucapan Muhammad Iqbal (1877-1938), seorang penyair, politikus, filsuf dan pemikir Islam dari Pakistan: “Negara lahir dari tangan penyair, jaya atau bangkrutnya berada di tangan politisi.”

Ucapan itu menjadi tak berlebihan dalam konteks kemerdekaan dan kelahiran bangsa-negara kita. Di satu sisi perjuangan fisik melakukan perannya, tapi ada juga sisi lain yang tak kalah penting, yaitu intelektualitas yang di dalamnya termasuk sastra terutama novel dan puisi. Akhirnya, diakui atau tidak, sastra turut mengisi perjuangan menuju kemerdekaan bahkan ikut membidani kelahiran bangsa-negara. (*)            

*Kim Al Ghozali. Buletin Lentera Bayuangga, edisi pertama. Agustus 2019.

Posting Komentar

0 Komentar