Kehidupan dalam Pabrik


Tahun 2010 saya menjadi buruh salah satu pabrik besar di Jawa Timur, pabrik penghasil roster, guci, piring-gelas hias, ornamen-ornamen rumah yang terbuat dari keramik, dsb. Saya satu dari sekitar dua ribu buruh yang ada di dalamnya, dan bertempat di bagian finishing barang. Bekerja sembilan jam dalam setiap harinya di bawah pengawasan anak buah mandor yang garang. Bekerja sepenuhnya memakai otot dan keringat dengan resiko yang tinggi. “Efesien, disiplin dan produktif” begitulah tulisan yang tertempel di dinding-dinding pabrik sebagai motto untuk para buruh. 

Delapan jam bagi kami tentu bukan waktu yang lama ketika berada di dalam pabrik. Sistem kerja target yang kadang melebihi kemampuan tenaga menjadi terasa begitu cepat. Berpacu dengan waktu untuk memproduksi barang sesuai pencapaian yang ditetapkan. Kadangkala perlu jam tambah apabila tidak memenuhinya. Menjadi sembilan atau sepuluh jam—bekerja dalam keadaan muka kusut dan badan lelah di bawah tekanan pengawas yang cemberut.

Bising mesin, kepul asap dari cerobong pabrik, suasana yang pengap, lalu lalang manusia dengan beban di tangan tanpa sepatah kata, manusia-manusia bermasker, adalah pentas teater senyata-nyatanya dalam kehidupan pabrik. Tak ada pembicaraan kecuali sangat penting. Jam dinding menjadi momok yang paling ditakutkan. Otak menjadi tidak penting sama sekali. Ketangkasan tangan, kecepatan melangkah sangat dibutuhkan untuk memindahkan barang dari satu tempat ke lain tempat. Dalam arti lain, masuk ke dalam pabrik adalah siap menjadi robot untuk membantu kelancaran mesin; menjadi baut, menjadi oli, menjadi gear, menjadi sekrup, menjadi tangan kedua dari huller, dan memberi jiwa pada barang yang lahir dari rahim mesin. 

Sungguh, tak ada yang benar-benar menarik selain bayangan menerima upah yang diberikan dalam dua minggu sekali (yang banyaknya tidak sebanding dengan ritme dan beban pekerjaan). Sesaat ketika menerimanya pun separuhnya kandas di warung untuk membayar bon makan siang dan beli rokok. Belum lagi persoalan-persoalan dengan atasan, khususnya pengawas yang tampil arogan dan mencari muka kepada mandor. Maka persinggungan, dendam bahkan permusuhan seringkali tak dapat dielakkan. Karena inilah pada akhirnya saya dan beberapa teman memilih keluar setelah seorang dari kami terlibat perkelahian di luar pabrik dengan seorang pengawas yang punya masalah dengan saya. Kesewenang-wenangannya membuat harga diri saya menjadi benar-benar tersinggung saat itu.

Namun ada satu hal yang sangat melekat dalam ingatan pada masa di pabrik itu. Kami punya seorang mandor perempuan: tinggi-seksi, pinggulnya berisi, cantik, matanya indah, bibir dan lehernya menggairahkan, ramah, suaranya halus dan kadang menyimpan kenakalan yang alami. Sebuah sendang dalam makna sesungguhnya di tengah terik mesin-mesin. Sebuah pemandangan hijau di antara kegersangan bagi mata yang lelah dan ngantuk dalam pabrik. [*]

Posting Komentar

0 Komentar