…Kamu perempuan dan aku laki-laki, atau kamu laki-laki
dan aku perempuan, atau aku tidak laki-laki tidak juga perempuan dan kamu
laki-laki atau perempuan, atau kamu tidak laki-laki dan tidak perempuan,
sedangkan aku laki-laki atau perempuan, atau aku dan kamu sama-sama tidak
laki-laki juga tidak perempuan.
![]() |
“APA dong?!” responsku setelah membaca tulisan itu, sebuah tulisan tangan di secarik kertas lusuh yang kutemukan di pinggir jalan Kali Ancor. Sepertinya surat, tapi surat dari siapa dan untuk siapa? Apakah ada orang yang demikian, maksudnya ia dan pasangannya bisa bertukar kelamin atau bahkan tak berkelamin sama sekali?
Aneh, pikirku. Aku tak bisa membayangkan apa jadinya orang tidak berkelamin, mungkin ia semacam batu yang hanya teronggok bisu tanpa nafsu berahi sama sekali, dan tentu saja tidak akan berkembang biak atau punya anak. Apa jadinya pula hidup tanpa berahi purbani seperti itu? Mungkin hidup tidak akan gereget lagi.
Bukankah kitab suci tak melarang orang punya berahi? Yang diperingatkan hanya kita harus menjaga berahi. Ya mengendalikan berahi. Tapi siapa tahan mengendalikan berahi, bukankah mengendalikan adalah pekerjaan yang sangat sulit meski terdengarnya enteng saja? Apakah orang yang sudah tidak punya alat kelamin sudah tentu tak punya berahi?
Batu, tentu tak punya alat kelamin dan tak punya berahi, tapi ia bukan manusia. Manusia punya berahi dan punya alat kelamin. Dan kita tahu ada pula manusia punya berahi tapi alat kelaminnya tidak hidup. Ada yang alat kelaminnya hidup tapi tidak berberahi pada alat kelamin tertentu, misal pada alat kelamin kambing, alat kelamin babi, atau alat kelamin sapi. Ada juga yang punya birahi dan punya alat kelamin yang bisa hidup, tapi alat kelaminnya tak suka dengan alat kelamin berlawan jenis. Sukanya alat kelamin yang sama, yang sebangsa, yang sejenis. Jadi berahi itu barang macam apa? Ah makin ngaco saja pikiranku.
Dan aku melanjutkan membaca tulisan di secarik kertas lusuh itu.
Tapi ketika hendak kubaca kelanjutannya, tulisannya sudah sulit terbaca, bagian kertasnya hampir hancur, mungkin terkena injak orang atau dilindas roda. Sebagian lagi tintanya sudah luntur, terkena hujan atau mungkin terkena kencing anak kecil yang sembarang kencing di pinggir jalan. Hanya di bagian paling bawah yang bisa kubaca, itu pun hanya tulisan tanda pengenal: Dari yang laki-laki tapi bisa juga perempuan dan bisa juga tidak laki-laki dan tidak perempuan.
Kepalaku mulai pusing membaca tulisan itu.
Ah! Barangkali yang menulis hanya anak kecil baru balajar bahasa atau baru belajar baca tulis. Dan tulisan yang kucurigai sebagai surat itu mungkin tidak ditujukan kepada siapa-siapa kecuali untuk dibuangnya di pinggir jalan setelah dituliskan, kemudian dipungut tangan yang kerjanya cuma memungut-mungut seperti tanganku ini.
***
Orang memanggilku tukang pungut. Anak kecil selalu takut
kalau melihatku, takut dipungut. Tapi mau bagaimana lagi, tanganku memang suka
memungut, memungut apa saja; plastik warna-warni pembungkus makanan, botol
mineral, tas kresek hitam, kardus,
kertas yang
kadang berisi gambar superhero, sobekan kain, ataupun puntung rokok. Untuk
puntung rokok yang kutemukan, kalau masih cukup panjang biasanya langsung
kuselipkan di bibir dan kukeluarkan korek api dari saku, lalu puntung itu
kunyalakan dan kuisap dalam-dalam.
Memang rasanya tidak enak, agak apek, tapi itu lumayan, mengurangi pengeluaran buat membeli rokok. Kadangkala ketika aku memungut kresek hitam berisi, ternyata setelah dibuka aku sedang memungut nasib. Kalau malam harinya aku bermimpi seekor ular besar-jinak dan melilit tubuhku dengan karib, maka kresek hitam itu berisi uang bergambar sang Proklamator, berpuluh-puluh lembar bahkan beratus-ratus lembar, dan aku yakin uang itu adalah uang para koruptor yang dibuang begitu saja dari dalam mobilnya karena kepepet dikejar KPK.
Tentu saja aku menikmati uang itu. Toh yang dikorupsi uang rakyat, dan aku juga rakyat, berarti uangku juga. Uang yang kutemukan itu biasanya kubuat berfoya-foya barang semalam atau dua malam, kutraktir kawan-kawanku, orang-orang yang senasib denganku, tukang pungut-tukang pungut yang tak lebih baik dan tak lebih beruntung dariku itu. Kubelikan mereka berbotol-botol Topi Miring, berpuluh-puluh tusuk sate kambing, dan berbungkus-bungkus rokok kretek.
Setelah perut mereka kenyang, setelah lidah dan tenggorokan mereka licin, maka aku ajak mereka ke warung Mbok Siti. Di sana mereka minum satu-dua botol bir sebelum menggerayangi perempuan-perempuan muda yang tubuhnya seseksi Titi Kamal tapi wajahnya mirip Titi Jambol. Dengan satu dua botol bir, maka wajah Titi Jambol akan berubah mirip Titi Kamal, begitu keyakinan kawan-kawanku. Duit satu kresek itu pun ludes barang semalam atau dua malam. Namun itu tak menjadi masalah. Bukankah biar miskin yang penting sombong?
Tapi ketika malam harinya aku bermimpi dikejar-kejar anjing gila lalu kakiku digigit, maka keesokan harinya saat menemukan kresek hitam berisi, kalau bukan kotoran manusia ya pembalut perempuan di dalam kresek itu.
***
“Gak nyicip dulu Kang?” tiba-tiba Mbok Siti mengagetkanku yang sedang bengong sambil memegang secarik kertas lusuh yang kucurigai sebagai surat dan bikin pusing itu.
“Belum bermimpi dililit ular Mbok.”
“Ularmu saja yang dililitkan, Kang.”
“Dasar kau Mbok, sudah tahu tubuhku kotor dan bau begini masih juga kau goda.”
“Apalah arti kotor dan bau fisik, Kang. Toh nanti kalau sudah diguyur air akan bersih dan tak bau lagi. Yang sulit dibersihkan kalau hati yang kotor. Jangankan air, dibersihkan pakai spiritus pun tak akan mempan.”
“Apalah arti kotor dan bau fisik, Kang. Toh nanti kalau sudah diguyur air akan bersih dan tak bau lagi. Yang sulit dibersihkan kalau hati yang kotor. Jangankan air, dibersihkan pakai spiritus pun tak akan mempan.”
“Kau kayak tukang khotbah saja, Mbok. Apakah kau pikir aku cuma kotor fisik?”
“Ya kotor-kotor dikit kalau hati Kakang sih tak apa-apa,” Mbok Siti tersenyum
kenes.
“Dasar penggoda!”
“Dasar penggoda!”
“Kalau tidak menggoda lelaki mana bisa aku makan?”
Aku pun masuk ke warungnya. Hari sudah remang. Jalanan sesak. Kota menyalakan lampu-lampunya dan muda-mudi bergandengan tangan menyusuri trotoar pinggir jalan. Televisi mulai sibuk dengan berita kriminal. Iwan Fals bernyanyi lewat VCD bajakan di warung-warung yang berderet di pinggir jalan. Azan magrib menggema dari masjid seberang lapangan. Orang tua memukuli anaknya yang bandel tidak mau mandi. Anak kecil menangis karena tidak dibelikan robot berbunyi ngieeeuwngieeeuw made in China.
Di taman kota merpati terbang sendirian, sedangkan pasangannya entah ke mana. Media sosial lagi heboh soal LGBT. Portal Dakwatuhihihi menurunkan berita: Bumi tidak bulat, tapi datar. Portal lainnya mem-posting begini: Fantastis! Gajah Mada ternyata tidak mati, ia hanya ganti nama jadi Gaj Ahmada. Penyair tua masih berseru-seru: “Awas bahaya laten Komunis Gaya Baru!”
Petang diganti malam. Malam makin larut. Lagu-lagu dangdut mulai menggema. Nella Kharisma dan Via Vallen tak henti-henti bergoyang bersama Jaran. Mbok Siti masih di depan pintu menggoda setiap orang yang lewat. Seorang pemuda dari gadget-nya mengakses: http://www.news-medical.net/health/schizophrenia.aspx. Utang Indonesia sudah mencapai USD 343,13 M. Di You Tube WS. Rendra tak henti-henti mengutuki tirani. Pemuda tanggung membaca Das Kapital.
Lukisan Raden Saleh tembus Rp 150 M dalam lelang di Vannes-Paris. Ketua DPR tidur lagi saat rapat. Korut memanas. Kecebong di mana-mana. Pentolan ormas sedang buron ke Timur Tengah. Pemerintah kini impor beras. Ahmad Dhani lagi-lagi cari sensasi. Sukmawati baca puisi. Tulisan di bokong truk: Rindumu tak seberat muatanku. Papua dilanda kekurangan gizi. Beberapa titik Pantura macet. Rocky Gerung berseru-seru: Fiksi! Fiksi! Bule telanjang sedang tiduran santai di Pantai Nusa Dua.Warga miskin kota tergusur.
Petani dirampas tanahnya atas nama tahayul pembangunan. Tetangga saya yang bernama Dimas Kanjeng masih cengangas-cengenges di layar kaca. Jakarta memanas. Awas virus WannaCry menyerang komputer Anda! Tokoh agama berseru-seru: dunia sudah kacau balau, nilai semakin bobrok! Running text televisi: Ada asteroid hampir menabrak bumi. Kaum moralis menyalakan sirene tanda bahaya.
Tapi malam tenang-tenang saja, berjalan dengan pelan bersama mantel hitamnya menuju puncak kedamaian. Bumi bagi sebagian orang sedang baik-baik saja, tak ada sesuatu yang genting. Sudah hampir jam dua belas malam, dua botol bir kuambil dari kulkas Mbok Siti dan berjanji akan kubayar setelah aku bermimpi dililit ular besar. Dan ia hanya merengut.
“Kenapa kau tak melilitkan diri saja ke ular sungguhan di Ragunan?”
“Mending koruptor saja yang dilemparkan ke ular-ular di Ragunan itu, Mbok, biar jadi santapan hari Minggu mereka.”
Aku melangkah dari ruang depan warung menuju ruang belakang. Beberapa perempuan
dengan wajah menor mencolek-colek pinggangku. Oh genitnya! Satu dari mereka
kemudian menarik bajuku, yang lain lalu mengelilingiku dan mengikat tubuhku
dengan tali tambang yang entah didapatkan dari mana. Seketika aku tak berkutik.
Lalu mereka menggotongku ke sebuah ruang yang gelap, tanpa lampu tanpa jendela
dan tanpa nasib yang pasti.
Seorang dari mereka berkata:
“Apakah kamu ingin jadi perempuan dan aku laki-laki, atau aku perempuan dan kamu laki-laki, atau aku tidak laki-laki tidak juga perempuan dan kamu laki-laki atau perempuan, atau kamu tidak laki-laki dan tidak perempuan sedangkan aku laki-laki atau perempuan, atau aku dan kamu sama-sama tidak laki-laki juga tidak perempuan?”
Ia begitu hafal tulisan di secarik kertas lusuh yang kucurigai sebagai surat itu! Dari mana ia tahu tulisan tersebut? Ketika kuraba saku celanaku untuk mengambil secarik kertas lusuh tadi, ternyata kertas itu sudah tak ada di sana. Secarik kertas lusuh melayang-layang dalam mimpi. []
Denpasar, 2018
0 Komentar