Bukit
Sempenan yang terletak sekitar dua puluh kilometer ke selatan dari Kota
Probolinggo, Jawa Timur, itu adalah hiburan bagiku sewaktu masih kecil.
Aku
lahir di Kampung Watuewuh, Desa Resongo yang terletak tak jauh dari bukit itu.
Kampungku diapit oleh dua bukit, di sebelah barat bernama Bukit Perahu dan di
timur bernama Bukit Sempenan, asal dari kata ‘simpanan’. Entah apa yang
disimpan oleh bukit tersebut, mungkin harta karun? Misteri? Atau sepenggal
tragedi? Sedangkan bagian selatan jauh dari kampungku adalah gugusan gunung
yang membiru melindungi pegunungan Bromo-Tengger-Semeru (BTS).
Di
kaki bukit itu, ada lapangan sepak bola, di sanalah kami biasa bermain pada
sore hari dan berhenti ketika adzan magrib bergema, lalu kami turun ke sungai
yang ada di sisinya, membasuh diri.
Ketika
kemarau tiba, daun-daun pepohonan berkurang maka bukit tersebut terlihat dari
rumah. Aku bisa menyaksikan truk-truk hilir mudik sedang mengangkut batu-batu
yang sudah dipalu-godam oleh kuli-kuli perkasa untuk keperluan pembangunan di
kota. Truk-truk itu terlihat sangat kecil dari tempatku memandang, seperti truk
mainan yang berjalan sangat pelan. Dan aku senang menyaksikan itu, sebuah
hiburan bagi anak kampung.
Tapi,
bagi orang-orang tua saat itu, bukit itu menyimpan memori sendiri. Seperti
nenekku.
Pada
malam-malam di musim kemarau aku sering melihat cahaya bertebaran di bukit
tersebut. Aku bertanya pada nenekku,
“Cahaya
apa itu, Nek?”
“Itu
senter orang-orang kafir yang sedang berburu celeng,” jawab nenek.
Kafir?
Pada
saat itu, aku hanya menduga-duga maksud “kafir” yang diucapkan nenekku. Usut
punya usut, ternyata kafir dimaksud adalah orang-orang non muslim yang sedang
berburu babi hutan yang pada masa itu masih banyak berkeliaran. Biasanya
mereka adalah orang-orang Tionghoa bertempat tinggal di kota kecamatan.
Pada
malam-malam itu, hanya celeng yang menjadi buruan. Ya hanya celeng. Hewan rakus
yang selalu merusak tanaman penduduk. Tentu lain halnya dengan puluhan tahun
sebelumnya di bukit tersebut, tak ada perburuan celeng, yang ada adalah perburuan
manusia, manusia yang oleh pemburunya mungkin sudah dianggap celeng.
Ada
sebuah cerita yang melekat di ingatanku semenjak kecil, yaitu cerita mengenai
tahun-tahun merah 1965-1966 yang terjadi di Bukit Sempenan, ini diceritakan
oleh nenekku dan beberapa orang tua kampung.
Konon
di bukit itu lubang-lubang besar digali dan pada malam harinya selalu
kedatangan truk yang memuat orang-orang ‘pilihan’. Dan tentu saja lubang-lubang
tersebut bukan tempat untuk menanam
pohon atau ketela, tapi sebagai tempat penguburan massal orang-orang dari
berbagai desa di kecamatan kami. Kuburan orang-orang sehabis dibantai oleh
algojo karena dicap anggota maupun simpatisan partai merah (Partai Komunis
Indonesia). Dan itu sudah menjadi rahasia umum penduduk di kampungku.
Sayang
lokasi kuburan massal itu sudah sangat sulit dilacak hari ini.
Beberapa
tahun setelah Orde Baru mulai berkuasa—Bukit Sempenan sebagai tanah milik
negara—ditanami Pohon Mahoni dan jati oleh Perusahaan Hutan Industri
(Perhutani) milik negara. Kini yang tersisa hanya kesunyian dan sepenggal kisah
samar-samar. Dan lereng-lereng bukitnya pun mulai banyak berubah menjadi ladang
yang dikerjakan penduduk.
Pembantaian
juga terjadi terhadap orang Tionghoa waktu itu, hanya caranya berbeda dan
kejadiannya berada di bagian lain Bukit Sempenan, di ujung selatan, di antara
deretan pohonan mahoni yang teduh dan sejuk dipandang, di samping jalan raya
kecamatan. “Sebelas orang Cina laki dan perempuan diikat menjadi satu, lalu
dibakar hidup-hidup. Apinya membumbung tinggi terlihat dari kejauhan,” begitu
ucap nenek ketika aku masih kecil dan sedang lewat di daerah tersebut.
Tak
ada catatan resmi mengenai korban, tapi cerita dari mulut ke mulut masih terus
hidup di antara orang-orang tua. Nenek biasanya juga bercerita tentang seorang
eks PKI yang tersisa ketika kami lewat
dekat rumahnya di kota kecamatan, orang itu selamat dari pembantaian tapi
bertahun-tahun mendekam dalam penjara Orde Baru. “Pak Harun namanya, matanya
sedikit cacat akibat siksaan aparat,” katanya.
Sebenarnya
kampungku termasuk kampung yang bersih dari anasir-anasir merah pada masa itu, bahkan
menjadi basis pertahanan sekaligus menjadi sasaran ketika suasa politik sedang
memanas menjelang tahun 1965, bahkan konon pada hari raya setahun sebelum
Gestok, ada huru-hara masjid di kampungku akan diserang orang-orang desa
tetangga, desa yang menjadi basis PKI. Orang-orang di kampung pergi shalat
dengan membawa senjata. Sebagian orang ditugaskan khusus, tidak ikut shalat
melainkan berjaga-jaga, mereka naik ke atas pohon di Bukit Perahu di ujung
barat kampung, karena desa yang diisukan
menyerang itu letaknya memang berada di barat laut kampungku. Namun semua itu berakhir
hanya menjadi isu. Tak ada penyerangan, tak terjadi apa-apa. Mungkin hanya ulah
provokator. Entah.
Tapi
justru karena itu, kampungku akhirnya ikut menyumbang algojo. Kami tahu para algojo
itu dari cerita orang-orang tua, dan kini algojo-algojo sudah ada yang
meninggal tapi ada juga yang masih hidup namun sudah sangat tua dan
pikun. Orang-orang tua kampung menyebut mereka adalah bajingan atau maling-maling sapi pada masa itu.
Setelah peristiwa 1965 meletus, mereka direkrut oleh aparat untuk menyisir
desa-desa dan kecamatan tetangga, terutama desa yang menjadi basis PKI. ‘Mengambil’
orang-orang yang sudah masuk daftar, kemudian digiring ke Bukit Sempenan,
menemui lubang penghabisan.
Tentu,
seperti yang jamak diketahui tentang peristiwa 65, yang hidupnya berakhir di
bukit itu tidak semua adalah anggota maupun simpatisan partai terlarang, ada
yang malah orang tidak tahu menahu tentang politik. Ia terpaksa menjadi korban
hanya karena dendam pribadi atau musuh penguasa setempat.
Dan
dari cerita-cerita nenek (juga orang-orang tua kampung) inilah kemudian aku
tahu bahwa puluhan tahun silam sebelum aku lahir ternyata ada sebuah peristiwa
besar, pembunuhan di mana-mana, tragedi berdarah yang baunya masih terasa anyir
sampai kini. Orang tidak beragama, suka membunuh kiai, senang merampas tanah, inilah
gambaran yang aku tahu waktu itu tentang orang-orang yang berakhir di Bukit
Sempenan. Pantas jika mereka dibunuh, pikirku. Kemudian ditambah lagi dengan
penjelasan-penjelasan di sekolah mengenai PKI melalui sejarah yang notabene-nya
versi Orde Baru. Semakin maklum aku saat itu terhadap apa yang terjadi di situ atau
ditempat-tempat lain yang kudengar secara samar-samar.
Namun
beruntung pada hari kemudian ketika aku sudah berumur belasan mulai mengenal
internet. Internetlah yang menjadi pintu masukku mengenal banyak bacaan,
khususnya bacaan kiri, menggandrungi Pram, Tan Malaka, Bung Karno, dsb. Lalu,
terlebih lagi banyak berkenalan dengan buku-buku sejarah mengenai peristiwa 65
yang umumnya diterbitkan pasca jatuhnya Suharto. Apa yang tidak aku dapatkan di
sekolah (melalui pelajaran sejarahnya) dan apa yang tak kutemui dalam
masyarakat dari cerita-ceritanya, akhirnya aku temukan dari sana. Perlahan tapi
pasti sesuatu yang dulu dibangun Orde Baru dalam kepalaku melalui
doktrin-doktrinnya lewat lembaga dan budaya ataupun cerita-cerita sepihak yang
hitam putih lambat laun mulai mencair, gambaran Komunis maupun perjuangannya
yang selalu ditutupi kemudian aku tahu juga, sehingga akhirnya bisa menimbang
sejarah dengan lebih adil. (*)
*Pertama kali tayang di Ingat65
0 Komentar