Beberapa Puisi dari Api Kata




SUATU MALAM DI SEBUAH HOTEL

: hujan januari
mengantarkan kami ke sini

pada lekuk bibir perempuan eropa
masih mengalun nada nada pesta
          bau wiski, gelayut sepi
dan kami terus terjaga
bulan karam di atas meja makan
malam bikin kota jadi sedih
lampu sepanjang jalan
menyeret musik ke dalam mimpi

antara kami dan pelancong tua
                 saling bertatap mata
ini darah kami   ini tanah kami!
sepatu yang berat padamkan
nyala rokok di atas lantai

“apakah kau kenal hegel,
al ghazali atau cheng ho?”

seorang pemabuk berceloteh
sedangkan sunyi merayap
ke dinding kamar
dan dingin menyapu segala
ingatan tentang masa silam

di luar, jalan membentang
dari hotel ke ujung pantai
esok siapa akan tiba lebih awal
kapal kapal atau matahari?

kubiarkan kota kini bergegas
dengan ransel berisi sejuta kenangan
menyeberang ke pulau tak berpagar
“mari kutuntun ke kamar nomor dua lima
sebelum kau pulang dan sejarah
menghapus kisah ciuman kita”

di sini, dinding bercat tebal, lukisan marmer,
                             jendela tak berkaca
kami saksikan bayang peperangan itu
pangeran diponegoro dengan sebilah keris
kau menyerah
menyeret ombak ke pembaringan
menyeret gunung ke pesakitan
o, kita mesti menyusun lagi taktik
                                    peperangan
di atas laut
di atas perahu layar nelayan madura
di ujung sirip ikan yang menuju muara

o, biarkan kota ini bergegas
meninggalkan segala ingatan

di sepanjang ranjang tak berbesi
pagi tak kunjung menghampiri
di luar musik semakin pelan
malam menampakkan istananya
dan pemabuk itu masih terdiam
samar samar di bawah lampu
semakin nyata wajahnya
seperti bayangan kita

lalu kami pergi seketika
dari kamar hotel ke pembaringan
pada tanah dan kesia siaan ini
                 tempat yang tak lagi dicinta

 (2015)


JANUARI DALAM PERTEMUAN

angin telanjang menyapa jiwa kita
di sela burung burung terbang
ada kata kehilangan sayap
ada yang bersatu meski tak menyatu

kau di seluruhku
merah bibirmu dan senyum
yang tak sempat kupotret
jalan lain mengenang segala sentuhan
di masa itu:

sesekali tangan gemetar kita
di tengah badai awal bulan
dan malam hampir tenggelam
samar samar membikin dunia baru

nyanyian lagu untukmu
alunan merdu dari sebuah kafe
dan kita berdiam di bawah dingin ac
gadis suci—menari bersama bayang

angin perlahan pergi
lewat jendela kamar bercat biru

dari kaca jendela tunggal
                                                                                   
bintang bintang turun ke jantung malam
melilit jiwa kita yang lama sepi menyala.
pukul 12 kau dan aku bertukar pandang
ayunan matamu dua bandul
di musim kemarau
kita pun berciuman  
nafsu yang dicipta hujan akhir tahun

“teh atau kopi?” bisikmu
tanganku memberi isyarat

di ujung ruang, pesawat tv
sebuah kabar mengingatkan aku kembali
tentang kawan yang terbujur kaku
dua tahun silam, demonstran
yang ditembaki tangan tangan besi

aku kini tahu, dunia sebagai mesin
pencipta mimpi:
melahirkan sekaligus menghancurkan.
aku tak dapat mencegahnya
sekalipun kau di sampingku
maut di mana mana, di musim kering nanti
pada agustus akan mencuri tangis bayi bayi

di benang tanganmu
o, gadis suci—titisan dewi laksmi
kutemukan masa kanakku serupa
pohon mangga kecil, tumbuh nakal                            
dan liar di sisi jendela kamar tua.
oh betapa cukup lama kulalui
tahun tahun tanpa gairah
bahkan tanpa dosa—yang kadang kurindukan.

malam sepi

akar cahaya bekerja tanpa suara
menjalar dan menyusup ke hutan gerimis
pinggir kota
dan kidung hutan mengalir ke sungai
tanpa muara

hei perempuanku!

namaku tercipta dari senyawa sepi
tolong lantunkan tembang untukku
tembang yang sering kali kudengar
kala kubaring sendiri,
ghost story, biarkan aku bermimpi
esok hari perayaan kematianku

akhir pertemuan
senyum itu, manis dan sederhana
tiada lain
aku terpesona pada bayang
yang kau cipta
bayangan dari tiga puluh satu matahari
bulan januari

(2015)


ELEGI

: yang tersingkir

perempuan tua berjalan di beku
malam kota. tak ada siapa pun
sepi mengosongkan segala ruang

hanya bintang  
mawar di kegelapan angkasa

bayang dirinya menjauh
di bawah lampu taman
hanya surga dalam tempurung kepala
dan bidadari di ujung langit
pesta anggur bersama para
pahlawan gugur di musim hujan

dari puncak menara sayup suara
mozart dalam don giovanni
matanya melihat ada yang menari
bukan orang bukan kekasihnya
ia tak punya banyak ingatan
tentang masa lalu, tentang masa kecil
atau peri plastik sebagai kado
ulang tahun dari ayahnya

tujuh hari dalam seminggu
tapi ia tak sungguh tahu
cara tidur paling nikmat atau nasib
baik dan buruk
ia berjalan di atas tanah kosong
di mana pepohonan
sempat merawat kenangan
merawat cinta selama berpuluh abad

tapi tuhan tak membiarkan kekal
tapi tuhan menyukai perubahan
maka berdatangan
manusia manusia masa depan

“demi keajaiban di tanganku
ladang ladang harus bersinar
menyentuh langit tempat ibuku
dulu menjalin cinta pertama”

perempuan tua berkhayal dalam
dua khayalan
pertama: seseorang turun dari
puncak menara, berbalut cahaya
dengan tongkat di tangan
“semoga saja itu jibril
yang pernah memasuki bilik maria”

kedua: ia melihat tubuhnya sebagai
raksasa ketika memasuki ruang
penuh peta dan globa
dilihat batasan negara di dunia
di atas peta bumi begitu damai

tapi kini matanya bagitu sayu
dalam balut kabut
benda benda hilang dalam pandang
hari hari terluka tak sempat dikecup
dan sebagai jantung hatinya

yang telah pergi selamanya pergi
seperti hilangnya api dalam perapian
setelah nyala terakhir

(2015)


PAGI MERAMBAT DI BATANG
POHON
                                                    : wjs

malam menjelma duniamu
telah pulang jauh ke rahim langit
dan arak yang kau tenggak
disuling dari darah warna perak
 berkubang di perutmu bersama
 kunang kunang yang mengutuki
 tiang listrik

kawan yang berkawan sunyi
terkapar memunggungi matahari

puisi pagi ini mengalir di sungai
yang terpisah dari sejarah
puisi yang kau baca semalam
membeku di bumi leluhurmu
yang hilang tanah

apa mimpimu dalam tidur kali ini?

seorang perempuan berlalu
dengan sayap terbelah setelah
botol botol kosong semalam
seorang lainnya: bule kesasar
ke meja bundar kita, mengigau
tentang ubud dan budaya bali
tentang alam begitu menjanjikan

tapi bali bagimu adalah bali
bukan destinasi atau perawan
siap beri kepuasan
ia rahim semesta dewata
lahirkan seribu lakon purba

apa mimpimu dalam terjaga nanti?

angin yang dengar percakapan kita
pulang ke sarangnya di gunung
dan bintang nanar sebelum subuh
luluh di atas kepalamu

“maka perlawanan pada
kesewenangan harus kita lakukan
meski kalah, asal bukan menyerah”

ucapmu dengan sedikit sempoyongan

(2016)


Posting Komentar

0 Komentar