Oleh
Kim Al Ghozali
Saya
akan membuka pembacaan atas buku Menanam
Puisi di Emperan Matamu ini dengan mengutip pendapat George Orwell mengenai
latar belakang penulis dalam menuliskan karyanya. Dalam konteks ini menerbitkan
karya atau bukunya. Menurut Orwell dalam esainya yang berjudul “Mengapa Saya
Menulis”, ada empat motif seorang penulis menuliskan atau menerbitkan karyanya.
Pertama, sekadar sebagai egoisme,
yaitu keinginan untuk tampak lebih pintar, populer, dikenang setelah dirinya
meninggal, ataupun menempatkan diri pada kedewasaan semu, dalam arti sekadar
ingin membalas terhadap penghinaan-penghinaan atas kehidupan masa kecilnya. Kedua, antusiasme estetis. Yaitu
keterpesonaan pada kata-kata. Persepsi atas keindahan dan hasrat ingin berbagi
pengalaman yang dianggapnya cukup bernilai. Ketiga
adalah impuls historis, yaitu mencari fakta-fakta sejati, dan menyimpannya
untuk keperluan pelacakan asal-usul. Dan keempat
adalah menulis sebagai tujuan politis. Yaitu politis dalam makna yang sangat
luas.
Barangkali
motif keempat inilah yang jangkauannya sangat luas, dan mungkin sebagai puncak
proses atau obsesi dari sebagian besar seorang penulis. Karena dengan motif
politis seorang penulis akan turut menawarkan gagasan atau turut ambil bagian
atas kehidupan masyarakatnya secara lebih konkrit. Dalam kata lain, hanya
dengan motif politis sebuah tulisan bisa berkontribusi atas perubahan baik
dalam skala besar maupun kecil dalam diri maupun di luar diri penulisnya.
Akan
tetapi dalam penulisan karya sastra, motif politis saja tentu tidak cukup.
Dalam tulisan sastra paling tidak atau idealnya ada motif estetis dan motif
politis yang seimbang. Jika motif estetis semata tentu hanya suatu nonsens yang
ditawarkan, atau katakanlah bersolek ria. Dalam sejarah sastra Indonesia
setidaknya kita pernah mengenal yang dinamakan puisi-puisi gelap. Puisi yang
kabur makna. Puisi eksperimental yang memaksimalkan kata-kata untuk mencapai
keindahan tertentu tetapi mengabaikan isi. Sedangkan motif politis semata tanpa
diimbangi dengan motif estetis tentu akan jatuh menjadi banalitas, sarat pesan,
jargon plastis dan sloganistis.
Lalu bagaimana dengan buku Menanam Puisi di Emperan Matamu karya buku pertama Wayan Esa Baskara ini jika ditilik kadarnya untuk membaca motifnya berdasarkan motif tadi, manakah yang lebih dominan?

Berdasarkan titimangsa yang tercantum di bagian akhir puisi, sebagian besar puisi-puisi dalam buku ini tergolong puisi-puisi baru diciptakan, yaitu sepanjang tahun 2017-2018—meski ada juga sebagian yang diciptakan pada tahun-tahun sebelumnya. Sesuai dengan pengakuan penyairnya, Wayan Esa Baskara, dalam pengantar buku ini, momen paling produktif dalam menulis puisi antara tahun 2017-2018.
Sebagai
buku kumpulan puisi tunggal/perorangan, jumlah puisi dalam buku ini cukup
banyak, atau jika tidak mau dikatakan terlalu banyak. Kumpulan puisi yang
memuat cukup banyak puisi tentu memiliki keuntungan tersendiri jika digarap
dengan cukup baik, yaitu menawarkan beragam hal dari penyairnya atau
menyuguhkan lanskap yang luas atas pemikiran atau prinsip si penyair sendiri.
Namun sebaliknya, jika tidak diperhitungkan dengan sungguh-sungguh tentu puisi-puisi
yang banyak tadi hanya akan sebagai ukuran kuantitas semata dan menjadi mozaik
yang menjemukan. Misal jika kumpulan puisi itu terlalu banyak menyodorkan
keberagaman tema, selain sulit mencari titik tolak pembicaraan atas apa yang
hendak disampaikan oleh penyairnya dan wacana tertentu yang hendak disampaikan
dengan kesadaran pada konsep estetika puitik, juga sulit dinilai keutuhan
sebuah buku puisi.
Tapi
hal ini dalam buku Menanam Puisi di
Emperan Matamu, Wayan Esa Baskara sepertinya cukup paham menyiasati hal
itu. Dengan puisi-puisi yang masih memiliki gaya ungkap yang serupa antara satu
dengan yang lain, ketakberkaitan (terutama dari segi tema) yang menjadi rongga
dan pemisah antara satu puisi dengan puisi yang lain itu menjadi sedikit
tertutupi. Dalam arti puisi dari halaman pertama sampai halaman terakhir masih
memiliki gaya yang serupa dalam mengkonstruksi kata-kata sehingga menjadi sebuah
puisi.
Dikatakan
juga oleh penyairnya, penciptaan puisi-puisi dalam buku ini dilakukan di tiga
tempat atau kota berbeda, antara lain Tabanan, Singaraja dan Denpasar, yang
tentu saja tempat-tempat itu memiliki atmosfir yang berbeda pula. Namun apakah
atmosfir berbeda itu turut mempengaruhi proses dan corak puisi-puisi Wayan Esa
Baskara? Dari 105 puisi dalam buku ini sepertinya sulit dicari perbedaannya
atas pengaruh tiga tempat berbeda itu—kecuali secara tema antara satu puisi
dengan puisi yang lain yang memang berbeda-beda—baik dari segi diksi, metafor,
sudut pandang (yang hampir dari keseluruhan puisi-puisinya sarat dengan
personalitas si penyair) hingga persoalan mengolah sebuah tema ke dalam bahasa
estetik. Dalam kata lain, tiga tempat yang berbeda secara karakteristik itu;
Tabanan yang agraris, Singaraja yang maritim dan Denpasar yang urban, tak cukup
memberi arti signifikan yang turut mengubah prinsip atau kesadaran estetik
penyairnya.
Karena
puisi-puisi dalam buku ini hanya menyertakan titi mangsa (waktu) tetapi tidak
disertai nama tempat di mana puisi-puisi itu dibuat, cukup sulit sebenarnya
mana puisi yang dibuat di tiga tempat berbeda itu. Namun dengan karakteristik
tiga tempat yang memiliki ciri khasnya masing-masing itu tentu sedikit banyak kita
masih bisa melacaknya.
Misal
puisi “Lembu Hitam di Jalan Thamrin”: masih
begitu pagi / dingin menyelimuti gundah hati / dilatari lagu nyiur di depan
puri // begitu ampuh mengurai air mata / sejak pagi-pagi sebelumnya. Dengan
puisi berjudul “Mengajak Putri ke Sawah”: kita
tak perlu menuggu / langkahkan saja sepasang janji dan kesaksian / di bawah
purnama kali ini // jangan takut gaunmu kotor / sebab
malam menjelang / butiran lumpur akan menjelma jadi bebutiran gundu /
warna-warni / yang siap kita mainkan / di petak sawah terakhir milik kakek.
Puisi pertama kemungkinan dibuat atau terpantik oleh suasana
Denpasar, mengingat ada sematan nama Jalan Thamrin—nama yang umumnya hanya
digunakan untuk nama jalan protokol dalam kota. Sedangkan puisi kedua adalah
mengambil latar tempat yang bercorak agraria dan non unban. Namun keduanya
tidak memiliki perbedaan yang kental baik diksi, simbol, maupun suasana yang dibangun
sehingga mampu memberi batas penegas antara dua tempat yang memiliki ciri
berbeda secara spesifik. Pengalaman berbeda yang dialami penyairnya atas tempat
berbeda belum sepenuhnya mampu mendorong menjadikan pengalaman berbeda pula baik
secara estetik maupun prinsip.
Di sisi lain puisi-puisi Wayan Esa Baskara dalam buku Menanam Puisi di Emperan
Matamu ini sebagian besar mengangkat
ragam tema sederhana (meski ada juga tema yang tak begitu sederhana, misal
puisi “Naga Bumi”, “Perang”, atau “Genderang Telah Ditabuh”) dan dilukiskan
secara sederhana, dengan nuansa liris yang kental. Umumnya bercorak puisi-puisi
pendek dengan bertumpu pada aku lirik atau personalitas penyairnya yang dominan
dan cenderung impresif.
Sebagaimana sifat impresi, puisi-puisi dalam buku ini membicarakan
beragam hal secara sekilas lalu, sesuatu yang tampak atau terasakan oleh
penyairnya dan sesegara mungkin dicatat dan diberikan tempat dalam kata-kata.
Dalam kata lain, puisi-puisi Wayan Esa Baskara adalah puisi-puisi yang tak
mencari atau mendalami peristiwa.
Simak misalnya puisi berjudul “Malam” yang saya kutip secara utuh:
Sungguh/ sebutir gelap yang tumpah / tak
kau hirau / meski/ kau bisa membacanya. Puisi ini singkat, padat dan tampak
sangat enteng seperti ditulis dalam sekali tarikan nafas oleh penyairnya. Tapi
secara tak langsung juga memiliki daya gugah dan sugestif.
Sebagaimana kita tahu, keberhasilan sebuah puisi tidak ditentukan
oleh panjang atau pendeknya, melainkan kadarnya; kekuatannya secara artistik,
ketepatannya secara linguistik, padu dan mencapai sublimitas. Jika puisi
panjang adalah sebuah formula yang singkat namun masih membutuhkan
pengembangan; bagian-bagian dalam puisi panjang nyaris otonom (sebagai bagian
dari keseluruhan), dengan keanekaan yang maksimal tanpa merusak kesatuan, pada
puisi pendek keanekaan dikorbankan demi kesatuan sebagaimana puisi tersebut.
Meski ada juga pada sebagian puisi dalam buku ini yang tampak
tidak terlalu diperhitungkan secara teknis. Terutama soal pertimbangan
musikalitas puisi, seperti aliterasi, asonansi dan pola rima, sehingga meskipun
perhitungan ekonomi kata cukup ketat, puisi menjadi sedikit tercecer terutama
dari segi bunyi. Minus unsur bunyi jika dalam puisi naratif misalnya, tentu
tidak terlalu mencolok. Tetapi dalam puisi lirik bunyi memiliki peranan
penting. Jika tidak digarap dengan cermat, akan cukup mengganggu pembacaan.
Tapi terlepas dari persoalan itu puisi-puisi dalam buku ini cukup
menarik terutama dari segi tema yang diangkat, apalagi seandainya tema-tema itu
dieksplor lebih jauh lagi oleh penyairnya. Misal tema-tema tentang lokalitas
Bali, terutama yang berkaitan dengan tema upacara agama atau adat seperti yang
berada dalam puisi “Tumpak Landep”, “Saraswati”, “Nyepi,” dll.
Meskipun tema-tema ini sudah cukup umum diangkat oleh
penyair-penyair dari Bali, tentu masih cukup ada celah untuk dimasukinya dan
turut ambil serta, tentu dengan cara mengembangkannya lagi untuk memperkaya
dari apa yang dibicarakan pendahulunya, atau bahkan mempertentangkannya
sehingga menimbulkan rangsangan estetik yang lebih segar. Atau juga misal pada puisi-puisi
tentang kuliner yang berkaitan dengan Bali yang cukup banyak ditemukan dalam
buku ini.
Dengan menjelajahi tema-tema itu secara lebih luas, lebih serius,
maka bukan tak mungkin motif-motif personal atau egoisme seperti yang sebut
Orwell sebagaimana yang tampak dalam hampir semua puisi-puisi Esa Baskara ini, akan
beranjak ke motif yang lebih luas lagi, atau bahkan bisa jadi sebagai gabungan
dari empat motif sehingga mampu meperkaya baik secara personal atau ego,
estetis, historis maupun politis. []
0 Komentar