Oleh Kim Al Ghozali AM
Tak
sedikit prosa ditulis pengarang di Indonesia yang mengangkat tema atas
peristiwa besar yang pernah terjadi dan paling berdarah di negeri ini, yaitu
Gerakan 30 September atau kini lebih dikenal sebagai tragedi ‘65. Tentu dengan
berbagai perspekstif. Sebagian perspekstif itu bersifat dekonstruksi dari
catatan resmi atau sejarah versi pemerintah dan mengambil alih suara korban
yang sayup-sunyi untuk diangkat ke permukaan sebagai
bagian dari simpati dan keberpihakan. Namun, meski sudah banyak dan
berulang kali cerita tentang peristiwa ’65 diangkat ke dalam
fiksi—baik sebagai tema utama ataupun sempalan—tetap selalu menarik
perhatian dalam kesusastraan Indonesia.
Barangkali
alasan utama yang membuat tema ini selalu menarik perhatian, meskipun
peristiwa itu lima puluh tahun lebih telah berlalu dan tak terhitung jumlah
tulisan-tulisan ilmiah hasil peneliti dalam dan luar negeri untuk mencari fakta
sejarah, adalah karena peristiwa itu belum benar-benar selesai dan masih
menyisakan beragam pertanyaan. Selain itu, memang diperlukan suara-suara
lain yang harus terangkat ke permukaan, terutama suara-suara rakyat biasa yang
turut menjadi korban langsung maupun tidak langsung atas peristiwa itu. Bukan
hanya suara dari tokoh-tokoh yang namanya menjadi perhatian publik dan sejarah.
Tentu salah satu media yang paling tepat dalam hal ini adalah lewat fiksi.
Dengan
mengambil perspektif dari orang-orang yang dianggap tidak terlalu penting namun
merasakan dampaknya secara langsung atas peristiwa ‘65 seperti yang
banyak diangkat oleh pengarang-pengarang kita ke dalam fiksi, tentu akan
memperkaya pandangan kita akan peristiwa itu. Kita menjadi tidak hanya melihat
sesuatu secara hitam putih, tetapi melihat beragam warna
kemanusiaan.
Suara
(Sunyi) Korban
Dalam
novel terbarunya, Perempuan
Bersampur Merah (Gramedia Pustaka Utama, 2019), Intan Andaru
melakukan hal serupa dengan yang dilakukan para pengarang yang mengangkat tema
peristiwa ’65 atas peristiwa yang berbeda meski secara karakteristik memiliki
muatan yang sama: politik. Intan Andaru meminjam suara korban tragedi yang
pernah terjadi di ujung timur Pulau Jawa dua puluh tahun silam, yaitu tentang
pembantaian orang-orang yang dianggap sebagai dukun santet, untuk mengangkatnya
kembali cerita pilu korban ke khalayak luas. Meski tragedi ini skalanya jauh
lebih kecil, baik dari segi peristiwa maupun jumlah korban dibandingkan
tragedi ‘65, tragedi yang terjadi pada tahun peralihan dari Orde Baru ke Orde
Reformasi itu masih menyisakan beragam pertanyaan dan penuh
misteri hingga hari ini. Seperti halnya tragedi ‘65, pembantaian
terhadap orang-orang yang dianggap sebagai dukun santet ini sampai sekarang
belum menemukan titik terang siapa aktor intelektual sebenarnya di balik
kejadian itu.
Memang sudah banyak tim pencari fakta di lapangan, baik pada masa itu maupun tahun-tahun sesudahnya. Ada yang menyimpulkan bahwa pembantaian massal itu adalah strategi politik yang dilakukan terorganisasi oleh kelompok elit tertentu dan meminjam tangan massa-rakyat biasa, atau terror by design. Hal ini diperkuat dengan adanya orang-orang bertopeng—disebut ninja—yang kadang menampakkan diri di kampung-kampung pada malam hari saat peristiwa itu berlangsung. Mereka bergerak begitu lincah dan cekatan sehingga selalu lolos dari kejaran massa yang curiga. Sering kali setelah ada penampakan ninja, tak lama kemudian ada orang dibunuh, baik secara misterius maupun oleh massa yang terprovokasi. Banyak yang menduga bahwa orang-orang bertopeng itu adalah intelijen.
Tapi, ada
pula yang menyimpulkan bahwa kejadian itu sebagai kejadian biasa yang bersifat
spontan, pembiaran dan berulang, atau crime by omission seperti
yang disampaikan Jason Brown dalam penelitiannya atas peristiwa itu dalam Perdukunan,
Paranormal, dan Peristiwa Pembantaian (Teror Maut di Banyuwangi,
1998). Namun, penemuan-penemuan ini justru semakin menambah
kesimpangsiuran tentang apa dan siapa sebenarnya di balik kejadian itu. Seiring
berjalannya waktu, segalanya dibiarkan menjadi remang-remang dan tak
benar-benar selesai seperti halnya tragedi yang diawali dengan pembunuhan tujuh
jenderal di negeri ini.
Di
sinilah fiksi berfungsi, ketika suatu peristiwa kian mengabur dan sulit dipilah
antara yang hitam dan yang putih, yang benar dan yang salah, fiksi menjadi juru
bicara atas sejarah. Meski, tentu ia menolak menggunakan ‘bahasa sejarah’
maupun tunduk atas perintah sejarah yang selalu penuh pretensi. Karena fiksi
tidak sedang mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, tidak hendak
memvonis atas suatu peristiwa. Singkatnya, ia tidak sedang atau tidak akan
pernah menjadi hakim. Tetapi, ia mengamati dengan saksama dan
mengangkatnya sebagai realitas yang adil. Ia membicarakan keadaan dengan jujur
tanpa intervensi sesuatu yang ada di luar dirinya. Ia membicarakan korban dan
kemanusian-kemanusiaannya.
Sebagai
pegarang, Intan Andaru mengambil peran itu melalui novelnya. Membuat
alternatif bagi orang-orang yang ingin tahu apa yang terjadi di
Banyuwangi pada tahun 1998. Tentu juga sebagai bagian dari cara menolak
lupa tentang kekejaman yang pernah dialami manusia, pernah dialami oleh
orang-orang sekitarnya.
Walaupun
Intan bukan satu-satunya, jauh sebelum itu pengarang yang sama-sama kelahiran
Banyuwangi, Langit Kresna Hariadi, juga mengangkat tema ini ke dalam novelnya, Kiamat
Para Dukun (Era Intermedia, 2004). Namun, apa yang ditawarkan
Intan dalam Perempuan Bersampur Merah menarik diikuti. Intan
meminjam mulut anak kecil untuk menyampaikan realitas, untuk menyusun
kembali peristiwa itu, sehingga sudut pandang ini menjadi demikian menarik.
Anak kecil, sebagaimana yang kita tahu, masih memiliki cara berpikir yang
sangat jujur, polos, dan sama sekali belum terkontaminasi hal-hal besar di
luar dirinya, terutama yang bersifat politik. Anak kecil menyampaikan apa yang
dilihat sesuai dengan apa yang dilihat. Menyampaikan apa yang didengar sesuai
dengan apa yang didengar. Ini salah satu strategi penceritaan yang menarik.
Bahkan banyak pengarang dunia yang sudah melakukan hal ini; memakai sudut
pandang anak kecil dalam cerita-ceritanya untuk menembus kekakuan yang menyekat
orang dewasa.
Sari,
tokoh utama dalam novel ini, baru menginjak usia sembilan tahun saat
peristiwa itu terjadi. Saat orang-orang kampung—yang sangat
dikenalnya—mengarak, memukuli, membantai orang yang dianggap sebagai dukun
santet di muka umum. Orang-orang yang dibantai itu bukan hanya orang lain atau
tetangga jauh, melainkan juga ayahnya sendiri. Sari melihat dengan
mata kepalanya sendiri bagaimana ayahnya dibawa dari rumahnya,
diseret oleh massa, dan dipukuli hingga tewas.
Kemudian jasadnya ditinggalkan begitu saja di balai desa, selang
beberapa waktu diambil oleh keluarganya seperti suatu kejadian yang lumrah
semata.
Malam itu, kulihat dengan mata kepalaku
sendiri, mereka menyeret Bapak—mengambil Bapak dari kami. Bapak yang melolong
meminta tolong tak digubris sama sekali. Bahkan para tetangga dekatku yang
terbangun karena keramaian malam itu tak dapat melakukan apa-apa selain
memandangi kami dan menutup mulutnya.
(Andaru, 2019: 65)
Di antara para pembantai itu, ada beberapa orang yang begitu dikenal Sari. Mereka tak lain adalah tetangga jauhnya yang kesehariannya sama sekali tak menampakkan sebagai manusia jahat. Bahkan tak ada tanda-tanda mereka akan menjadi pembantai yang begitu brutal.
Ada
apa dengan mereka? Mengapa menjadi sedemikian agresif dan sadis? Apakah yang
mereka lakukan murni bersifat spontan karena terprovokasi atas isu
dukun santet? Padahal ayah Sari hanya seorang buruh tani yang
sesekali mengobati tetangganya yang sakit (menyuwuk), bukan seorang dukun
dalam arti sebenarnya. Apalagi sebagai dukun santet seperti yang ujug-ujug
disangkakan oleh massa.
Dari
sini banyak celah untuk memahami kembali peristiwa itu. Terutama melalui
pendekatan psikologis. Suatu kejadian yang berulang dan begitu masif
secara logika sulit diterima sebagai spontanitas. Suatu peristiwa yang
dirancang sedemikian sistematis dan terencana oleh kelompok atau golongan
tertentu dengan meminjam tangan massa tak akan benar-benar terlaksana tanpa
memahami terlebih dahulu sebuah penyakit psikologis massa. Peristiwa
dalam Perempuan Bersampur Merah atau pembantaian orang-orang
yang dianggap sebagai dukun santet ini bisa dilihat dari pendekatan psikologis
yaitu perspektif frustasi-agresi. Agresi yang disebabkan oleh
dorongan-dorongan yang berada di luar diri (massa) sehingga menimbulkan suatu
keadaan frustasi (dalam hal ini sebagai imbas dari keadaan sosial-politik dan
ekonomi—kita tak mungkin melupakan bahwa tahun 1998 di Indonesia sebagai salah
satu tahun yang sangat genting, baik sosial,
politik, maupun ekonomi) dan agresi ini membutuhkan penyaluran.
Agresi ini mencari situasi yang tepat untuk meledakkan diri.
Trauma yang Dipertanyakan
Dalam
novel Perempuan Bersampur Merah, Intan menarasikan peristiwa demi
peristiwa dengan cukup mengalir, tetapi cenderung fragmentaris. Cerita yang
fragmentaris tentu bukan tanpa konsekuensi. Jika tidak digarap dengan tepat,
cerita itu hanya menjadi pengisi ruang kosong-ruang kosong alur cerita. Tanpa
sebuah pendalaman, terutama terhadap psikologis tokohnya. Hal inilah yang
tampak pada beberapa bagian cerita dalam novel Perempuan Bersampur
Merah.
Sari,
meskipun tampak begitu sedih dan melankolis atas kematian ayahnya, dalam novel
ini cukup diragukan perasaan takut apalagi trauma yang dialaminya. Atau
mungkinkah ia memang tak benar-benar memiliki perasaan trauma atas kematian
ayahnya yang dibunuh secara keji oleh massa?
Tidak
lama setelah kematian ayahnya, Sari mencatat nama-nama orang yang dikenalnya
yang ikut membunuh ayahnya itu ke dalam kertas—yang lepas dari jerat hukum.
Melalui nama-nama yang dicatatnya inilah, jalinan cerita dalam Perempuan Bersampur Merah berkesinambungan,
mengantarkan Sari ke fragmen-fragmen yang lain dalam kehidupannya di kemudian
waktu, atau bahkan bisa dikatakan hal ini sebagai premis untuk membangun
keseluruhan cerita. Melalui nama-nama ini pula ia memulai semacam petualangan
bersama sahabat kecilnya, Ahmad, menyelidiki dan mencari tahu lebih mendalam
tentang kehidupan orang-orang yang nyata-nyata terlibat dalam pembantaian malam
itu. Bahkan tak lama setelah peristiwa pembunuhan ayahnya, bersama Ahmad, ia
berkunjung ke sebuah penjara di mana terdapat seorang lelaki ditahan karena
dianggap terlibat, yaitu sopir truk yang tak sengaja mengantarkan massa yang
hendak membantai ayah Sari.
Sari
memang tidak melakukan hal-hal besar dari penyelidikannya atas nama-nama itu
layaknya tokoh-tokoh dalam cerita detektif atau pahlawan kecil yang melakukan
pembalasan terhadap orang-orang yang dianggap musuhnya dan merugikan
kehidupannya. Namun, mengingat ia adalah korban langsung, bahkan menyaksikan
dengan mata kepalanya sendiri kekejaman diberlangsungkan, cukup diragukan
jika tak mengalami trauma yang mendalam. Alih-alih melakukan penyelidikan
layaknya Tim Pencari Fakta atau aktivis berpengalaman.
Apalagi
mengingat umur Sari ketika masih sembilan tahun. Seorang bocah yang belum cukup
mengerti tentang apa yang terjadi, terutama peristiwa besar sedang berlangsung
dan sarat politik. Bahkan beberapa tahun kemudian, tanpa ragu Sari memasuki
sanggar gandrung Mak Repyak dengan tujuan mencari salah satu nama orang yang
ikut membantai ayahnya, Pak Sotar, karena ia diketahui dekat dengan Mak Repyak.
Sari pura-pura mendaftar sebagai murid Mak Repyak untuk belajar menari demi
melanjutkan penyelidikannya.
Meskipun
penyedilikannya tak benar-benar berhasil di rumah Mak Repyak, dari penyelidikan
di rumah Mak Repyak inilah Sari menemukan dirinya sebagai remaja perempuan yang
berbakat menari, kemudian menjadi salah satu jalan hidupnya di masa
remaja. Namun, rasanya Sari di sini bukan Sari kecil atau remaja
lagi, melainkan Sari yang canggih. Terlalu canggih. Sari yang memiliki jiwa
intelijen dan hasrat petualang penuh risiko.
Sebagai penyintas, agaknya cukup diragukan kemampuan Sari yang hebat itu. Mengingat, para penyintas serupa butuh waktu bertahun-tahun bahkan seumur hidupnya untuk bangkit dari trauma. Jangankan melakukan penyelidikan yang mandiri, mendengar nama sebuah peristiwa yang dialaminya pun kadang masih menjadi semacam teror. Nah!
*
Terlepas dari paparan singkat di
atas yang perlu digarisbawahi dalam novel ini, secara keseluruhan novel Perempuan
Bersampur Merah menarik untuk diikuti. Dengan memakai alur yang
acak—tidak kronologis—melainkan berdasarkan tahun cerita berlangsung yang
ditata sedemikian rupa, membuat novel ini menjadi cukup unik dan mengikat kita
untuk membacanya sampai selesai. Juga, novel ini cukup berarti karena menjadi
alternatif bagi siapa pun yang ingin tahu tentang peristiwa besar yang terjadi
di ujung timur Pulau Jawa pada akhir masa Orde Baru dan awal era
Reformasi. Seperti halnya narasi-narasi tentang tragedi ‘65 yang diangkat
ke fiksi, kemudian menjadi cara kita yang lain untuk memahami kembali peristiwa
itu, begitu juga dengan Perempuan Bersampur Merah. []
*Tulisan ini pertama kali tayang di tatkala.co & kibul.in
*Tulisan ini pertama kali tayang di tatkala.co & kibul.in
0 Komentar