Semarak kesusastraan di suatu wilayah biasanya ditandai
dengan munculnya kantong-kantong sastra di wilayah tersebut; Komunitas,
sanggar, ruang kreatif, suatu wadah yang niscaya diperlukan oleh para penulis
sastra. Maka semakin semarak tradisi bersastra akan berbanding lurus dengan
banyaknya komunitas-komunitas sastra yang muncul.
![]() |
Sastrawan Martin Aleida dan F. Rahardi dipandu Wayan Sunarta (tengah) dalam acara "Ngobrol Sastra" di JKP. (Foto: dok. Kim Al Ghozali) |
Umumnya komunitas-komunitas sastra sebagai komunitas nirlaba
dan tak terikat dengan instansi tertentu. Sehingga sifatnya menjadi lebih cair,
hidup, dan mampu mengembangkan diri dengan bebas. Dengan prinsip tidak mengikat
dan tidak terikat, akan menjadi semacam organisme hidup yang terus memberi dan
menerima. Hal ini sesuai dengan prinsip para pekerja kreatif yang tak suka
dikekang.
Meskipun pekerja kreatif, khususnya penulis karya sastra,
adalah pekerjaan yang sifatnya soliter dan hanya memerlukan ruang hening untuk
bekerja atau mencipta karya, nyatanya para penulis tetap membutuhkan ‘ruang
ramai’ dan persentuhan dengan banyak orang. Selain untuk mensosialisakan
karyanya, dengan wadah komunitas para penulis karya sastra bisa mendiskusikan
wacana tertentu terkait dengan kreativitas, ‘mengadu’ ide atau gagasan, sebagai
ruang apresiasi, ataupun untuk memunculkan persaingan secara positifantarsesama
penulis sehingga mampu menjaga energi mencipta untuk terus tumbuh. Dengan
adanya tradisi semacam ini juga timbul saling “asah-asih-asuh,” dan rasa
memiliki ‘rekan latihan’ tak lain demi menunjang keberlangsungan kerja kreatif
itu sendiri.
Termasuk di Denpasar, kantong-kantong kesenian atau
komunitas sastra di kota ini juga terus bermunculan. Salah satunya adalah
adalah Jatijagat Kampung Puisi (JKP) yang didirikan pada 25 Mei 2014 silam.
Para pendirinya adalah beberapa alumni Sanggar Minum Kopi—sebuah sanggar sastra
tahun 80-90-an yang banyak melahirkan sastrawan Indonesia di Bali—yang sudah
malang melintang dalam dunia sastra atau seni pada umumnya.
JKP menjadi salah satu tempat untuk aktivitas sastra atau
seni, tak terkecuali juga sebagai wadah untuk menampung orang-orang yang mulai
tertarik pada seni dan mencari jalan untuk berkesenian. JKP menjadi semacam
oase di tengah hiruk pikuk kehidupan urban dan pragmatisme kota Denpasar yang
lebih dikenal sebagai kota wisata meski punya slogan budaya ini.
Sebagai komunitas sastra, selain tujuannya untuk memberikan
ruang kegiatan yang berkaitan dengan sastra, tentu JKP juga memberikan ruang
untuk menumbuhkan bibit-bibit baru penulis. Sepanjang perjalanannya selain
diisi kegiatan diskusi sastra, baca puisi, bedah buku, acara “ngampung seni”
(yang diadakan tiap akhir bulan), juga pernah diadakan kelas menulis yang
diasuh oleh penyair Frans Nadjira. Selain itu Penyair Umbu Landu Paranggi pun
terus menerus turut memberikan bimbingan tidak langsung kepada mereka yang
punya ketertarikan pada sastra, khususnya puisi.
Pada tanggal 25 Mei 2019 Jatijagat Kampung Puisi memasuki
usia yang kelima. Acara ulang tahun pun digelar pada lima hari kemudian, Kamis
malam (30/5). Acara yang dikonsep dengan perayaan sederhana sekaligus disambung
dengan diskusi bulanan itu dihadiri oleh Sastrawan Martin Aleida dan F.
Rahardi. Keduanya menjadi pengisi diskusi dengan masing-masing mengangkat tema
diskusi yang berbeda.
Acara yang dimulai pada pukul 19:30 itu pun dihadiri oleh
puluhan orang dari berbagai kalangan. Ada mahasiswa, penyair, seniman, aktivis
teater, peminat sastra, aktivis sosial, dll. Martin Aleida sebagai pembicara
pertama banyak membincangkan proses kepenulisannya yang secara waktu sudah
terentang selama lima puluh tahun.
Martin yang saat ini sudah memasuki usia tujuh puluh lima
malam itu tampak sangat enerjik, berbicara dan menanggapi pertanyaan dari
audiens seputar soal proses kreatifnya dengan begitu antusias. Tidak luput ia
menceritakan kisah hidupnya termasuk masa-masa pahit setelah meletusnya
peristiwa 1965 yang turut berimbas pada dirinya sebagai penulis dan sebagai
pribadi. Bahkan ia pun sempat mencecap pengapnya ruang di balik jeruji Orba.
“Saya harus berjuang untuk membuka pintu lagi bagaimana saya
harus kembali ke dunia satu-satunya yang saya ketahui di dunia ini, yaitu dunia
menulis. Saya harus mencari ‘paspor’ baru. ‘Paspor’ itu saya peroleh dengan
menulis di majalah yang sangat terpandang ketika itu, yaitu majalah Horison.
Dua-tiga cerpen saya dimuat, nah itulah saya gunakan sebagai ‘paspor’ untuk
melamar dan kemudian menjadi wartawan Tempo selama tiga belas tahun,” tutur
sastrawan yang pernah menjadi wartawan di harian Zaman Baru itu tentang
perjalanan hidupnya pada masa-masa baru bebas dari sebagai tahanan politik dan
tak punya sumber pendapatan untuk menghidupi dirinya.
Sambil diselingi membaca salah satu cerpen karyanya, Martin
Aleida juga menceritakan kisah-kisah nyata di balik cerpen-cerpennya yang kini
dikumpulkan dalam buku “Kata-Kata Membasuh Luka” terbitan Kompas Gramedia. Dari
segi tema hampir semua cerpen dalam buku itu mengangkat kisah para korban
peristiwa 1965, termasuk fragmen kisah hidupnya sendiri.
Menurut Martin, sastra harus berpihak dan menyuarakan suara
korban. Namun, ia tetap menekankan penulis karya sastra tetap tidak abai pada
estetika dalam karya sastra itu sendiri, sehingga karya sastra tidak
berpretensi “mengabarkan” atau sebagai karya jurnalistik, melainkan
menggambarkan keadaan dengan kekuatan kata-kata yang bersifat sastrawi.
Sedangkan F. Rahardi yang mendapat giliran berbicara setelah
Martin selain membicarakan seputar puisi “mbeling” yang pernah menjadi fenomena
dalam perpuisian Indonesia pada tahun 80-an, juga banyak menceritakan proses
kreatif dirinya sejak awal. Ia mengaku lahir dari keluarga miskin di Ambarawa.
Sehingga keadaan kehidupan keluarganya itulah yang membuat ia lebih memilih
memutuskan bekerja setamat sekolah menengah ketimbang melanjutkan sekolah.
Tapi terkait dengan puisi, ia sudah mulai menulis sejak
dini. Sekali waktu ada seorang temannya yang secara misterius mengirim
puisi-puisinya ke majalah Basis di Yogyakarta dan terbit di sana. Persoalannya
bukan di situ, melainkan ketika ia menerima honor puisinya jumlahnya di luar
dugaan, yang secara nominal cukup besar. Itulah yang juga turut memicu spirit
proses kepenyairannya pada mula-mula.
Meskipun sebagai seorang Kristiani—agama yang menjadi
latar-tema dari banyak puisi-puisinya yang kemudian disebut “Puisi Mbeling
Religus”, F. Rahardi (dan keluarganya) mengaku tidak cukup akrab dengan agama
tersebut sehingga dewasa. Agama hanya sebagai formalitas dalam keluarganya.
Sedangkan secara praktik-ritual sehari-hari lebih dekat ke agama leluhur (baca:
Animisme).
Menurunya, banyak faktor yang memicu keadaan ini. Salah
satunya adalah keadaan gereja di wilayahnya yang cukup berjarak dengan rakyat
bawah, terutama golongan miskin. Gereja itu didirikan oleh orang-orang Eropa
semasa Hindia Belanda dan hanya diperuntukkan untuk golongan Eropa atau warga
Tionghoa yang kaya raya.
Latar seperti itulah yang mendorong puisi-puisi mbeling F.
Rahardi dengan muatan kritik sosial terutama soal kemiskinan dan keterkaitannya
dengan lembaga agama. Misal pada puisi berjudul “Seorang Tukang Sate Bertanya
Pada Tuhan” yang menggugat soal daging kambing lebih mahal dari daging
Kristus.Ia juga banyak menggugat masalah ‘budaya korupsi’ yang merebak di
negara kita, entah itu di lingkup instansi pemerintahan maupun di lembaga agama.
Menurut F. Rahardi korupsi itulah yang merupakan biang dari
segala kemiskinan. Bahkan ia menyebut korupsi sebagai kejahatan terbesar yang
tiada bandingnya. Meskipun pembunuhan juga dikategorikan sebagai kejahatan
besar, tapi pembunuhan lebih tampak dan lebih mudah diusut, bahkan orang-orang
mungkin juga turut menghujat pelakunya. Sedangkan korupsi tidak demikian, ia
bersifat laten dan lebih sulit diatasi. Padahal dampak kerusakan sosial yang
diakibatkan oleh korupsi sangatlah besar.
Selain memaparkan proses kreatifnya dan seputar kehidupan
perpuisian Indonesia pada tahun 80-an, F. Rahardi juga membacakan beberapa
karya puisinya sekaligus sebagai penutup acara diskusi yang dipandu oleh
penyair Wayan Sunarta itu, juga mengakhiri perayaan ulang tahun Jatijagat
Kampung Puisi yang kelima.
*Pertama kali terbit di tatkala.co, 09 Juni 2019
0 Komentar