Kini
dengan rasa bangga kau menceritakan peristiwa itu kepada siapa saja yang
menemuimu, bahkan tentang rahasia-rahasia kekasihmu atau tentang apa saja yang
berkaitan dengannya. Kau tidak merasa takut pengadilan nanti akan menjatuhkan
hukuman yang berat karena perbuatanmu. Kau tidak menyesal sedikit pun meski
telah merampas hak hidup orang lain, hak hidup kekasihmu sendiri. Kau juga
mengatakan kepada polisi yang memeriksamu jika kekasihmu itu memang layak
dibunuh. Dan kau senang bukan main, bahkan di hadapan polisi di hari pertama
kau ditangkap. Singkatnya kau tak merasa berdosa dan apa yang kaulakukan adalah
benar.
Perempuan
laknat memang harus dilemparkan ke neraka, begitu katamu. Kau merasa
kehormatanmu sebagai lelaki telah tercoreng. Kegagahanmu dipermainkan. Maka
malam itu ketika keadaan sudah sangat sepi dan kekasihmu sudah terlelap, kau
mencekiknya sampai mati. Setelah itu kau merasa lega, sangat lega, seperti ada
batu yang terbang dari kedua pundakmu. Kau melihat sebuah jalan terbentang dan
begitu terang di depanmu. Jalan di mana tak ada lagi kebohongan-kebohongan.
Namun
benarkah semua keyakinanmu itu? Keyakinan bahwa membunuh bisa dibenarkan? Ah!
Mungkin kau terlalu banyak minum malam itu. Terlalu banyak mengisap serbuk yang
kau dapatkan dari rekanmu di Jakarta, sehingga kau menjadi asik dengan fantasi
gilamu.
Atau mungkin pikiranmu terlalu lelah karena bekerja terus-menerus mulai Senin sampai Sabtu, sejak jam delapan pagi dan tak jarang hingga larut malam. Kau kekurangan istirahat, kurang olahraga, dan yang pasti kurang liburan dan hiburan. Itu tentu memiliki pengaruh besar dalam hidupmu.
Tapi
apakah semua ini benar adanya, ketika kau tetap kukuh pada keyakinanmu walaupun sedang berada di balik jeruji besi,
kau mengatakan kau baik-baik saja saat atau sebelum kejadian itu. Dalam arti
kau memang membunuhnya lantaran kelelakianmu merasa dikibuli. Bukan membunuh
atas dasar atau efek obat dan minuman.
Tidak!
Itu bukan alasan yang tepat di mata hukum. Bahkan apa pun alasannya,
menghilangkan paksa nyawa orang lain tetap tidak dibenarkan. Agama melarang,
hukum pemerintah melarang, nurani manusia juga melarang. Kau tak punya tameng
untuk bersembunyi dari perlakuanmu itu. Tameng satu-satunya adalah kau cuma
merasa benar terhadap tindakanmu.
“Kata
siapa nurani melarang membunuh orang? Buktinya nuraniku tak pernah melarangnya,
bahkan menyuruh untuk membunuhnya!” begitu pembelaanmu.
Oke.
Jika memang begitu kata nuranimu, berarti nuranimu yang sedang tidak beres. Kau
sakit! Nurani Hitler mungkin berkata begitu juga saat peristiwa Holocaust,
berkata bahwa tindakannya sesuai nurani. Begitu pun Westerling atau para
pembantai 50 tahun silam di negeri ini. Mereka mengikuti nuraninya, nurani
tidak beres!
Para
pembantai itu mungkin masih lebih baik karena mereka membunuh orang-orang yang
dibenci, sedangkan kau membunuh orang yang kamu cintai. Hewan saja tidak
sebiadab itu. Namun bagaimanapun pembunuhan tetap tidak dibenarkan, baik
membunuh orang yang dibenci, apalagi orang yang dicintai.
Kau
hanya tersenyum sambil menyandarkan badanmu ke tembok di balik ruang pengap
penjara. Dan teman-temanmu tentu berharap setelah mendekam di ruangan pengap
itu kau akan menyesali tindakanmu atau paling tidak menyadari bahwa apa yang
kau lakukan itu tidak benar. Tapi memang itulah kau, bukannya berterima kasih
pada mereka karena telah mengunjungi dan membawakanmu makanan dan tentu juga
menghiburmu, kau malah mengata-ngatai mereka sebagai orang yang ikut andil
dalam menghianatimu. Bukan itu saja, kau juga mencekik salah satu dari mereka,
sahabatmu sendiri, sehingga polisi di penjara itu harus turun tangan untuk
melerainya, kemudian memborgol tanganmu pada satu ruas jeruji.
Karena
ulahmu ini pulalah persidangan yang akan digelar pada minggu depan kini ditunda
lagi, dan kau tentu akan semakin lama menghuni ruangan sempit tersebut (semoga
kau tak membusuk di situ). Kau akan semakin ketar-ketir menunggu putusan hakim.
Oh tidak, kau tak pernah ketar-ketir karena kau memang merasa tidak bersalah.
Mungkin juga kau tak butuh sidang karena hanya akan membuat keadaan menjadi
bertele-tele. Yang kau butuhkan kali ini hanya seorang yang mau mendengarkan
kisahmu dengan saksama, tanpa membantah apa yang kau ceritakan, tanpa
menyalahkan apa yang kau benarkan. Ya itu saja. Dan kau lebih tahu siapa ia
yang akan mendengarkan kisahmu itu.
Setelah
seharian kau diborgol, pada malam harinya borgol yang mengikat tanganmu dengan
satu ruas besi jeruji itu telah dibuka oleh seorang polisi yang piket di situ.
Mungkin ia merasa kasihan padamu, atau mungkin polisi itu ketika melihatmu
menjadi ingat pada saudaranya sendiri dan bergumam: Bagaimana jika seorang dari
keluargaku yang mengalami keadaan seperti ini?
Kini
pun kau lebih leluasa menikmati ruang tahanan. Dan sejak malam itu kau berjanji
pada diri sendiri bahwa esok pagi kau akan menceritakan semuanya pada
seseorang. Seseorang? Ah! Tidak juga.
Dengan
perasaan mantap dan pikiran yang dikondisikan setenang mungkin kau sudah siap
untuk membeberkan sedetail-detailnya peristiwa maupun hubunganmu dengan perempuan
itu, kekasihmu. Mulailah kau melihat dengan saksama gambar seorang perempuan di
salah satu tembok dalam penjara itu, gambar perempuan tanpa badan, hanya kepala
dengan rambut tergerai. Matanya sangat tajam tapi juga lembut ketika melirikmu.
Entah siapa yang menggambar, mungkin tahanan sebelumnya. Dan bisa diduga
tahanan itu sangat mahir menggambar. Atau ia seniman lukis yang dipenjara di
situ? Buktinya gambar itu sangat bagus, bahkan bisa dikatakan sempurna, padahal
cuma digambar dengan spidol hitam. Setiap kali kau menatapnya, kau merasa
sedang menatap seorang perempuan yang paling mengasihimu, perempuan yang tak
pernah membohongimu. Kau juga merasa ia adalah jelmaan ibumu, adalah peri yang
turun di bulan Juli, adalah pohon kehidupan yang melindungi anak manusia.
“Aku
tahu bagaimana perasanmu sebagai seorang lelaki ketika dikhianati orang yang
paling kau cintai,” begitu kau menerjemahkan ucapan gambar perempuan itu saat
kau mulai bercerita. “Kau memang layak membunuhnya karena di situlah letak
kehormatan seorang lelaki. Kau juga layak membunuh selingkuhan kekasihmu itu.
Dan kau tidak salah. Budaya mengajarkan begitu.”
Kau
melongo ketika mendengar kata “budaya”. Ya, ya, kau kini menemukan perlindungan
baru, yaitu ketika agama, hukum pemerintah, dan nurani melarang orang membunuh,
maka bagimu kini budaya mengizinkannya. Tapi tentu kau tak paham juga, budaya
macam apa pula yang menghalalkan manusia membunuh manusia? Itu hanya budaya
kanibal, budaya primitif, budaya hutan rimba, budaya yang bertentangan dengan
budaya modern yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Kau tetap tidak dibenarkan.
Karena budaya kita budaya yang memanusiakan manusia.
Tapi
kau lebih percaya ucapan gambar perempuan itu daripada suara-suara lain, ucapan
yang sebenarnya terpantul dari imajinasimu sendiri, imajinasi yang bermasalah.
Kau pun menciumi gambar perempuan yang menurutmu menggambarkan karakter
perempuan sejati itu. Perempuan dengan segala kasih sayang harus dicintai dan
dilindungi, begitu katamu. Tapi saat itu pula kau sedang menjadi tersangka
karena membunuh perempuan. Otak paradoks!
Puas
menciumi gambar perempuan itu, kau menarik napas untuk melanjutkan bercerita.
Dan ia dengan wajah tenang menatapmu, tak sabar ingin segera mengetahui
kelanjutan ceritamu. Namun sebelum kau melanjutkan bercerita, perempuan itu
tiba-tiba bertanya?
“Mengapa
kau tak membunuh selingkuhannya juga?”
Kau
hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Kemudian kau melanjutkan. Bukan hanya
dia dan selingkuhannya yang aku bunuh, melainkan juga seluruh dunianya, ucapmu.
Gambar perempuan itu sedikit terkejut mendengarkan itu, tapi cepat-cepat
disembunyikan keterkejutannya dengan senyumnya yang manis.
“Aku
tak mengerti apa yang kau ucapkan,” ia menatapmu seperti meminta penjelasan.
Kau
agak kebingungan untuk menjelaskannya secara lugas. Kau tolah-toleh ke polisi
yang sedang bekerja di ruangannya, takut ia mendengarkan ucapanmu. Yach!
ternyata kau masih punya rasa takut juga. Kemudian kau mendekat ke telinga
gambar perempuan itu. Berbisik. Lama, sangat lama...
Akhirnya
gambar yang diajak bicara itu mengerti bahwa kau membunuh kekasihmu bukan
karena ia benar-benar selingkuh, tapi karena kamu curiga bahwa kekasihmu
memiliki kekasih lain dalam mimpi di tidurnya. Bahwa kekasihmu sering tersenyum
ketika tidur, seperti sedang tersenyum pada seseorang. Bahwa kekasihmu sering
berbicara saat tidur dan tak jarang kata-kata yang keluar dari mulut kekasihmu
yang sedang tidur itu adalah kata-kata mesra, lembut, dan menyebut nama lelaki.
Yang jelas nama lelaki itu bukan namamu. Bahwa kekasihmu saat tidur sering
mengeluarkan rintihan-rintihan nikmat selayaknya sepasang kekasih yang sedang
bercinta. Dan kau meyakini ia memang memiliki selingkuhan di alam mimpinya.
Kini
kau pun lega setelah menceritakan itu semua dan yang diajak bercerita
mendengarkan dengan saksama. Kau ingin menciumi gambar perempuan itu lagi
sebagai ucapan terima kasih karena ia mengerti tentang dirimu. Tapi sebelum
hidungmu menyentuh pipinya tiba-tiba ada tangan yang menyeretmu dari belakang,
ada tenaga begitu kuat memegang kedua tangan dan pundakmu. Sambil berusaha
untuk melepaskan diri dari tenaga itu kau mendongakkan muka ke belakang,
ternyata tak lain dua orang polisi, dan kini menyeretmu ke luar. Sedangkan di
luar jeruji beberapa dokter telah menunggudan akan membawamu ke sebuah rumah
sakit jiwa.
Yach!
semoga suatu saat kau paham bahwa membunuh itu memang dilarang agama, dilarang
hukum pemerintah, dilarang hati nurani, dan dilarang oleh budaya. Yang memperbolehkan
hanya jiwa dan pikiran tidak waras. Dan tentu saja itu tidak akan berurusan
dengan hukum, tetapi dengan dokter ahli atau dengan kerangkeng dan pasung,
ditempatkan secara khusus dan dijauhi manusia.(*)
*Pertama
kali terbit di Bali Post, Desember 2016
0 Komentar